Catatan Sampah

Sudut pandang orang pertama, kedua atau ketiga tidak lah penting. Tulisan esai, cerpen ataupun opini pun tidak termasuk. Mungkin lebih tepatnya hanya sebuah catatan pribadi. Catatan entah kemana arah tujuannya yang membahas semua kegelisahan. Jangan mengiba karena ia pun tak pernah merasa berduka. Tidak dengan kepedulian, karena akhir dari sebuah kepedulian bisa saja berakhir kepedihan. Atau dengan berpura-pura dramatis. Aah sungguh sangat menggelikan. Tapi dengan pemahaman. Pahamilah karena setiap orang memiliki keistimewaannya masing-masing. Prinsip, sikap dan atau bahkan kelebihan.

Puntung-puntung rokok yang mengakhiri nafasnya dengan sebuah pijakan sengit. Perlakuan kasar kucing-kucing kampung yang terusir dengan kebencian. Bukan pula picingan mata kepada mereka para penghuni perempatan. Kau tidak selayaknya mengagungkan diri karena nasib baik berpihak padamu. Para kaum sosialita yang kaya akan kepalsuan. Keegoisan kaum urban akan peliknya zaman. Intan sebagai lambang kekuasaan sedangkan batu bara untuk simbol perbudakan. Atau api sebagai bentuk kemarahan dan air yang mengalirkan kedamaian.

Angin tak selamanya akan bertiup syahdu. Suatu saat topan haiyan pun sanggup membinasakan gedung-gedung bertingkat. Ombak saja mampu mengikis pantai dengan abrasi yang terjadi terus menerus. Apalagi bila itu hanya setitik madu ditengah kerumunan semut. Bunga mawar yang kau petik kemarin juga tak akan segar seterusnya dengan rona merah yang menarik hati. Suatu hari ia akan kering, layu dan selanjutnya untuk apa tetap berada pada vas yang cantik. Pastilah kan kau dapati berada pada tempat sampah bersama kotoran-kotoran yang akan dibuang. Bunga-bunga ditepian jalan dengan cacian debu akan tetap disana sampai layu pada waktunya tanpa tersentuh.

Seperti kura-kura dalam tempurung. Atau bahkan keledai bodoh yang akan bekerja sampai mati pada majikannya. BUKAN. Ah diluar kegalauan ini sungguh tak terperi bagaimana kuharus menggambarkannya dan dengan apa. Bahkan tulisan-tulisan sampah ini tak akan mampu membuat sseseorang terharu pilu membacanya.

Dunia ini tak mampu kupahami lagi. Dia yang mampu membuatku terpakupun sepertinya kini tinggal kenangan. Seperti piring yang sudah retak, berapa banyak lem yang terpoles tak akan sanggup mengembalikannya seperti sedia kala. Ia tak akan berfungsi lagi. Aku sangat menyayangkannya. Kau yang kuingin kini selalu melayangkan pandangan seolah aku ini adalah penjahat yang harus diadili.

Dalam kamusku, kesempatan kedua sangatlah langka. Bahkan hampir tak ada. Seperti berjalan disungai deras. Saat kau melewatkan bunga cantik yang berada ditepian, maka kau taka akan pernah bisa kembali lagi untuk memetiknya. Baiklah. Apapun penyesalan itu nantinya, janganlah mengiba padaku. Aku mungkin tak akan memperdulikannya.


Kau yang masih berjalan didepanku. Suatu saat nanti akan kudapati dengan caraku.

1 comment:

Anonymous said...

seperti air dan minyak yang bisa bersama tapi tidak akan pernah bisa menyatu. cinta itu saling memberi, saling menerima. kamu berada di titik yang menyedihkan, selalu memberi tanpa peduli apa yang kamu terima. tidak jauh indahkah cinta yang lain, cinta yang benar-benar mencintaimu sedang kamu pun sebenarnya mencintainya tapi buta karena mimpi-mimpimu yang aneh?