#EkspedisiMerbabu Part 1



(18-19 April 2014)

Aku adalah seorang pemimpi. Sebagian mimpi kecilku, puncak Merbabu. Aku berhasil menggapainya.

            Aku terbangun oleh suara alarm handphone yang aku setting tepat pukul 4.30. Begitu membuka mata aku sangat ingat akan kegiatanku hari itu. Aku dan teman-teman akan berangkat menuju basecamp gunung Merbabu, terletak di desa Selo selepas subuh. Terlalu ambigu memang mendengar kata “selepas subuh”. Kami akan menahlukkan Merbabu. Sepagi itu, aku seorang diri sudah membuat gaduh kos. Gemericik air kran membuat gema seisi rumah kos lantai 1. Namun penghuni kos tak menghiraukan ledekanku. Mereka masih asik dengan mimpinya masing-masing. Ah aku tak berbakat. Aku merasa diacuhkan.

            Pukul setengah 6, aku sudah siap semuanya. Meskipun akan mendaki gunung, aku tetap terlihat sedikit kece dengan taburan debu kuning dan lips gloss berwarna pink. Pintu kamar terbuka lebar. Aku termangu-mangu berdiam di depan pintu. Sesekali ada motor melewati tempat tinggalku, mataku dengan otomatis mengatur titik fokus lensa. Ah sayang sekali. 1 jam 30 menit berlalu, yang kutunggu tak kunjung datang. Aku dihantui banyak pertanyaan memenuhi rongga kepalaku. Oh, jam 7 masih terhitung selepas subuh ya. Ya masuk akal si. Mungkin mereka berangkat dari belahan bumi bagian PHP (Pemberi Harapan Palsu). Ya ya ya. Aku menghibur diri atas kelucuan pagi itu. Ataukah aku harus menyesal karena air dingin itu telah menyiramku dengan amat sensi? Jahat sekali ia.

            Kuketik sebuah pesan untuk memastikan nasib keberadaan mereka. Iya ini mau berangkat. Begitu balasan yang kuterima. Aku semakin yakin sekarang, bahwa mereka tidur di alam lain. Lihatlah matahari sudah bergeser berapa derajat dari jam subuhku. Aku tak lagi seperti anak kecil yang sedang menunggu abang cilok melewatiku. Kini mataku terpana pada kartun kuning berbentuk kotak dengan teman sepermainannya berbentuk bintang berwarna pink. Cukup mengobati sakit hati dipagi hari sembari meyeruput hot cokelat penyelamat hariku.




            Ditengah keasyikan ini, namaku dipanggil seseorang. Ia sudah berdiri di depan gerbang pintu kosku. Kupastikan lagi bahwa suara itu benar-benar memanggilku. Bisa jadi itu hanya halusinasiku dan orang yang sedang berdiri itu adalah tamu dari teman satu kosku. Mereka menampakkan diri. Tanpa rasa berdosa dua orang melambaikan tangannya ke arahku yang berada di lantai dua. Ingin sekali rasanya melempari mereka dengan sepatu yang sudah satu jam lebih aku biarkan dingin di depan pintu dan berteriak “Khusuk sekali sholat subuhnya!!”. Kata orang, orang sabar disayang Tuhan. Maka dari itu aku ingin menjadi orang penyabar. Oke. Aku berpura-pura sabar. Kulemparkan saja senyum termanisku pada mereka seraya membalas dengan lambaian. Mereka terlihat bahagia sekali membuat bedakku luntur.

            Segera aku merapikan diri. Tak sampai 10 menit aku menghampiri mereka di bawah. Aku masih saja meladeni mereka dengan senyum manisku. Bahkan satu diantara mereka menyambut kekesalanku dengan bunyi kamera yang ia pencet dengan tangannya sendiri. Selfie. Dengan wajah berseri-seri ia mengajak kami berfoto. Ini penyogokkan. Herannya aku sendiri tak ada penolakan. Bahkan, justru aku terlihat paling bahagia diantara mereka. Ah apa-apaan ini. Kami akan berangkat dengan anggota berjumlah 8 orang. Sebenarnya rombongan kami berjumlah 13 orang. Namun something wrong membuat kita harus menuju TKP terlebih dahulu. Ia berjanji akan menyusul kami dengan segera. Kami berangkat.

            9.00 AM rombongan sampai di basecamp. Terlihat ada beberapa rombongan lain yang juga akan mendaki. Rencana awal, kami akan menunggu 5 teman kami yang masih di Jogja. 2 jam berlalu mereka tak kunjung datang. Hari sudah semakin terik. Matahari hampir membuat kita tak memiliki bayangan lagi karena telah berada tepat diatas kepala. Kita akan menunggu mereka dengan mendaki pelan-pelan. Dengan perkiraan, saat senja kami sudah bisa mendirikan tenda di sabana 1. Dengan mendapat jawaban izin dari mereka, kami akan mendaki dahulu. Sepakat, kita akan bertemu di sabana 1. Berbekal satu tenda berkapasitas 2 orang saja, kami memulai pendakian. Tepat di pintu utama jalur pendakian, kami melakukan ritual yang menurut kami itu adalah hal wajib. Kami berdoa memohon perlindungan-NYA.



            30 menit pertama wajah kami terlihat sangat bahagia dan segar. Seperti mawar merah yang merekah dipagi hari bertitikan embun. Tanah lurus di depan membuat langkah-langkah kami sangat ringan untuk diangkat. Tak ada wajah-wajah yang begitu bahagia kecuali wajah kami ini. Sungguh tak terperi. Merah kami membara. Menit 30 berlalu. Kini wajah-wajah merona tadi mulai menampilkan ekspresi-ekspresi aneh seiring kemiringan tanah yang mulai naik beberapa derajat.

            To Be Continue….. 

3 comments:

Anonymous said...

untuk keseluruhan si oke, tpi ada beberapa kata yang tidak saya mengerti seperti, ' Sungguh tak terperi, Merah kami membara dll. '
dan terlalu banyak penggunaan ' . '

saya tunggu lanjutan ceritanya,...

Anonymous said...

akhirnya ksmpaian juga ya ke merbabu ? oleh"nya mana ? hahaha :D

tulisanummu.blogspot.com said...

Oke. Makasih masukannya..
oleh-olehnya sebuah kenangan :)