#EkspedisiMerbabu Part 2

             Semakin lama langkah kaki terasa berat. Tak hanya itu, beban dipunggung yang kami gendong makin menghambat. Bahuku sakit sekali. Keringat mulai menganak sungai. Membanjiri wajah serta badanku. Bintik-bintik air asin itu mulai membentuk kumis-kumis tipis. Aku semakin terlihat seksi dengan paduan hidung mancungku. Sesekali kulap peluh itu dengan tanganku yang mulai kotor karena telah menjamah tanah-tanah gunung.

            “Laki-laki satu di depan. Berikutnya wanita. Kita di belakang kalian. Ayo jalan.” Kata si ketua dengan diberi julukan bujel. Panggilan konyol dari mana itu? Aku berfikir keras. “Bujel” adalah istilah untuk pensil yang sudah tumpul dan harus diraut lagi agar bisa untuk menulis. Ya ya ya. Apapun itu aku tak mau ambil pusing. Ada si gendhut mas Danu. Ia terlihat seperti Ian dalam film 5cm. “Bagi kuahnya dong”. Ledekan itu terus saja membuntutinya selama perjalanan. Lalu berikutnya ada mas Sipit. Tinggalkan saja ia kalau sedang tertawa. Ia tak akan melihat kita pergi kok. Mereka bertiga pasukan pemburu sunrise yang datang jauh-jauh dari kota Lumpia. Dari Jogja ada mas Toton, mas Tholo. Begitulah panggilan sayang semenjak SMA yang sampai jaman-jaman sekarang masih melekat erat pada mereka. Ada mas Melki dan ada partner wanita yaitu Anjar. Lengkap sudah aku memperkenalkan rombongan pendakianku. Untuk 5 orang yang akan menyusul itu aku hanya mengenal 1. Namanya mas Hanif. Aku dan Anjar pantas bersombong ria. Kita berdua masih sangat belia dibanding mereka para senior kita. Hahahaha.

            Kini jalan setapak yang dilalui semakin mengerikan. Banyak rumput-rumput liar dikanan kiri yang menyeruak kejalan karena tak pernah dipotong. Aku pastikan rumput-rumput itu adalah sarang ulat. Dan benar saja. Ulat bulu berkali-kali kujumpai sedang menanti kami. Mungkin mereka ingin aku menyapanya. Tapi, ah itu membuat bulu kudukku merinding. Dan juga ditepi sebelah kanan terlihat lereng-lereng dengan kedalaman yang cukup dalam. Bahkan aku tak melihat dasarnya. Jantungku terasa cenat-cenut membayangkan seandainya….. Ah sudahlah.

            Perjalanan ini semakin terasa mengasyikan ketika mendapati track yang lebih berat. Itu adalah tanah yang terkena aliran air terus menerus sehingga menghasilkan sebuah lubang cukup dalam seperti sungai kecil. Kami merayap diantara tanah yang terbelah itu. Dan lagi tanjakan halus, tinggi kami temui. Tak ada rumput ataupun batang pohon untuk berpegangan. Kami pasrah menunggu bantuan dari rombongan. Saling mengulurkan tangan dan membantunya naik. Itulah yang aku suka dari perjalanan ini. Mereka tak akan egois meninggalkan temannya.

            Perjalanan yang cukup melelahkan menghantarkan kami ke tanah lapang yang luas. Tapi itu bukan tujuan kami untuk bermalam dan mendirikan tenda. Tujuan kami sabana 1. Kami hanya mampir sejenak melepas lelah. Kami sempatkan berfoto-foto dulu. Backgroundnya keren. Gunung Merapi dan kumpulan awan yang sangat tebal. Ah kita terlalu lama menghabiskan waktu ditempat ini. Senja mulai menyapa. Hawa dingin mulai menusuk sampai ulu hati. Sakit seperti sedang patah hati.

            Ketua rombongan mengajak kami untuk mendaki lagi sebelum matahari benar-benar lenyap. Tentunya itu akan membuat dingin semakin pekat. Tiga rekan kami mas Sipit, mas Toton, dan mas pensil tumpul itu memimpin kami di depan agar cepat sampai untuk mendirikan tenda dahulu. Mereka cepat sekali memanjat. Mereka hilang bersama kabut-kabut yang menyelimuti kami. Berkali-kali mas gendut yang ada di belakang kami mengalami kram kaki sehingga membuatnya harus pelan-pelan mendaki.



            Aku dan Anjar meninggalkan mereka. Semula di depan kami banyak pendaki-pendaki lainnya. Namun kita masih kalah cepat. Mereka yang berada di depan ikut lenyap dimakan kabut. Dari track-track sebelumnya, lintasan inilah yang paling mengerikan. Bukit dengan kemiringan 45 derajat itu membuatku harus berjalan ekstra hati-hati. Salah pijakan saja atau kita tak kuat mencengkram apapun untuk penopang, kita akan terjatuh ke bawah. Aku tak kuasa melihat bawah. Mengerikan. Kita berjalan merangkak seperti bayi. Kanan kiri hanya rumput-rumput dan sesekali ada tanaman berakar yang bisa dijadikan pegangan. Sampailah kita dititik dimana kita tak mampu lagi melintas. Ada 2 jalan. Jalan sebelah kanan adalah tanah licin tak berumput. Akan mudah sekali melengserkan kita kebawah. Sedangkan jalan sebelah kiri lumayan mudah namun kita tak bisa melompat kesana. Dan lagi kita pasrah menunggu bantuan datang. Sayangnya tak ada seorangpun yang melewati kita. Mereka masih berasa jauh dibawah. Termasuk rombonganku. Kita tersangkut. Ah. Kita hanya terdiam dan terduduk lesu. Beberapa menit kemudian ada rombongan mulai mendekati kami. Kuharap itu adalah rombonganku. Semakin mendekat ternyata bukan.

            “Mbak jangan berhenti dijalan.” Kata seseorang dari mereka.
“Bukan mas. Kita hanya tak bisa melewati jalan didepan. Bisakah menolong kami?” Pinta Anjar.
“Oalah. Iya mbak bisa.”

Satu dari mereka melewati kami lalu mengulurkan tangannya. Kami terselamatkan. Karena hari mulai gelap dan untuk berjaga-jaga, akhirnya kita bergabung dengan mereka yang berjumlah 6 orang. Mereka anak-anak dari UGM. Tepat adzan magrib, kami sampai ditempat yang cukup luas untuk beristirahat.

Ditempat peristirahatan, kami bertemu dengan anak laki-laki berusia 5 tahun yang dibawa Ayah dan Bundanya. Ia kedinginan. Tak kuasa melanjutkan perjalanan sampai sabana 1. Ada kejadian yang mengharukan disini. Itu berawal saat si Ayah melepaskan jaket untuk anaknya. Si Ayah turun lagi ke bawah untuk mengambil tenda yang dibawa oleh rombongan. Kasian sekali anak itu. Dipeluknya erat-erat oleh Bunda dan dielus-elus untuk menghangatkan tubuhnya. Ia meminta kami untuk menemaninya sebentar sampai si Ayah datang. Kami mencoba menghiburnya. Ia tetap diam dipelukan Bunda.

“Bunda, Bunda, Ayah mana? Kok lama?” Tanya si anak.
“Iya sebentar lagi dek. Itu ada cahaya tu. Mungkin itu Ayah.” Bunda menenangkannya.
“Aku mau Ayah disini Bunda.” Polos sekali jawaban anak itu.
“Ini ada om sama tante disini nemenin Altaf (Aku lupa nama sebenarnya).”

Ah aku serasa menemukan ponakan yang telah lama hilang. Mungki tak hanya aku. Mereka mungkin merasakan sama sepertiku. Hahaha. Kita mencoba menghiburnya agar ia kembali tersenyum. Namun senyumnya kecut sekali.

“Yang penting Ayah disini Bunda.” Anak itu tetap mengkhawatirkan si Ayah.
Oh mengharukan sekali.
Ada senter mendekati kami. Itu bukanlah Ayah dari Altaf. Tapi rombongan kami yang tertinggal. Oh Tuhan terima kasih telah mempertemukan kami kembali.
*Sujud Syukur*

Kami dengan setia menanti Ayah Altaf seperti menanti Ayah kami sediri. Pandangan Altaf menatap kosong ke bawah. Pastilah ia sangat mengkhawatirkan Ayahnya. Aku larut bersama mata sayunya. Ia makin kedinginan. Dan sekarang, gelap benar-benar sudah datang.



Setiap cahaya mendekat kami berharap itu Ayah Altaf. Semakin cepat ia sampai, maka kamipun akan segera dapat melanjutkan perjalanan sampai ke sabana 1. Dan alhamduliah cahaya berikutnya datang dari orang yang sedari tadi ditunggu. Kami bersorak kegirangan dan bertepuk tangan. Kita semua senang. Akhirnya kita akan melanjutkan perjalanan. Hahaha. Senyum Altaf kembali. Manis sekali ia. Kamipun berpamitan dan berlalu.

To Be Continue...

2 comments:

Anonymous said...

Ini mengingatkanku pengalaman mndaki merbabu, bedanya disini posisi kalia n bertemu anak yg kdinginan, Ini mengingatkanku pengalaman ketika aq hampir jatuh ke jurang, dan yang menyelamtkan setangkai batang kecil licin yang tertancap di tanah. :D

tulisanummu.blogspot.com said...

ayo share juga ceritamu...