Adanya
pertemuan, akan selalu berakhir dengan perpisahan. Ya, itu pasti. Karena
keduanya telah diciptakan satu paket. Kita mau apa? Marah? Ingin berontak? Wait. Percayalah, rencana Allah lebih
baik dari rencana kita. Kita hanya perlu berlapang dada menerimanya. Toh, semua
yang kita punya adalah milik-Nya. Semua ini akan kembali pada-Nya. Mau tak mau
kita harus menerima. Ikhlas tak ikhlas, kita harus merelakan.
Alkisah tentang sebuah cerita, sekelompok kecil manusia,
di mana kita dipertemukan oleh keadaan di satu persimpangan. Ya, dipersimpangan
inilah kita bertemu dan kemudian kita berjalan bersama untuk mencapai tujuan
tertentu. Setelahnya, kita kembali dipisahkan oleh tujuan hidup yang kembali
berbeda. Arah tujuan masing-masing individu tak sama. Apa boleh buat? Semoga,
kita akan kembali menemukan partnerbaru dalam perjalanan menuju tujuan kita selanjutnya.
Paragraf di atas hanya prolog. Ya, seperti biasa aku akan
membagi sebuah cerita. Cerita mengenai perjalananku:
Sepertinya aku sudah
terlanjur jatuh cinta dengan kota baruku. Tak hanya kota, tapi beserta seluruh
isinya. Kota yang menjadi tempat perantauanku, Yogyakarta. Apakah aku termasuk anak durhaka? Durhaka karena telah
meninggalkan kota kelahiranku dan kemudian mencintai kota orang lain? Maaf. Ini
semua di luar dugaanku. Jogja memang
istimewa yang sanggup menghipnotis para pengunjungnya.
Aku bisa mendapatkan
semuanya di sini. Dan dari sinilah pertualangan baruku di mulai semenjak aku
keluar dari sangkar. Ilmu, lingkungan, hiburan, sahabat, cinta, dan kenangan.
Semuanya berbaur menjadi satu rasa yang memberikan pelajaran bagaimana
kehidupan itu mengalir. Mengalir seperti air yang tak akan pernah terputus
siklusnya.
Saat persimpangan sudah berada di depan mata. Setelah berjalan cukup lama, persimpangan di depan mata sepertinya sudah menanti. Untuk mereka yang sudah berhasil menuntaskan pendidikannya, untuk mereka yang akhirnya mengenakan jubah hitam dengan topi kebanggaannya, itu artinya saatnya mereka melakukan tantangan baru. Sebagian dari mereka akan kembali pulang ke kota masing-masing atau kembali melakukan perantauan di kota lain untuk mencicipi manis asam kehidupan. Itu adalah perpisahan.
Perpisahan itu menyakitkan. Perpisahan itu terlalu menyedihkan. Sekarang, bagaimana cara kita untuk mengikhlaskan perpisahan tersebut. Cara apa yang akan kamu pilih untuk melepas perpisahan? Dengan cara pahit atau menggunakan cara manis? Terkadang cara pahit dilakukan untuk melarikan diri dari ketidakterimaan kita terhadap keadaan. Mereka memilih mengobati rasa kecewanya dengan memberikan kenangan buruk agar bisa membenci. Dengan membenci,kita tidak akan mengingat-ingat lagi kenangan manis yang akan membuat rindu. Kemudian dengan dorongan yang kuat, perlahan kita akan cepat melupakannya. Apa kau pikir itu menyiksa pelakunya? Sangat. Aku yakin pelaku sangat tersiksa dan terbebani.
Sebenarnya hal itu
malah akan memberikan dampak yang lebih buruk. Kalau ada yang manis kenapa
harus meneguk yang pahit. Kalau ada obat sirup rasa stroberi kenapa memilih
puyer dengan rasa brantawali? Ah, terkadang aku juga berpikir demikian.
Ketidaksanggupan untuk menahan rindu itulah yang membuatku lebih baik untuk
melupa. Tapi itu artinya, aku akan kehilangan kenangan manis yang pernah aku
punya. Sayang sekali. Kalau semua kenangan manisku kurubah sendiri menjadi
pahit, apa kabar cerita hidupku nanti yang sebelumnya sudah pahit ini? Tsaaahh.
Kenangan manis lebih cocok untuk hadiah perpisahan.
Hari itu, sebelum aku
meninggalkan Jogja, dan sebelum orang-orang terdekatku meninggalkanku, aku
memilih untuk pergi. Aku menjauhi mereka terlebih dulu. Maaf kalau aku jahat. Aku
hanya belum bisa berpikir, bagaimana nanti bila aku merindukan mereka? Orang-orang
terdekatku akan menjauh satu persatu dariku. Sanggupkah aku? Aku kembali
melarikan diri dari kenyataan. Berharap, setelah aku mengasingkan diri dan
kembali, semuanya akan seperti sedia kala.
Pagi itu aku berpamitan
dengan sahabatku, sebut dia, anak SMP. Sebuah kotak sarapan dan buku, menjadi
kenangan perpisahan kami. Dia sahabatku semenjak aku duduk sebagai mahasiswi
baru yang lucu-lucu. Saat kita harus berbagi beban berat dan ringan. Saat
amarah berubah menjadi petuah. Saat kegagalan menjadi sebuah pondasi untuk
berdiri lagi. Dia mengajariku banyak hal. Kita yang sering membicarakan hal-hal
tak jelas untuk menjadi bahan lelucon. Ah, semua kenangan manis itu akan membuatku
merindu.
Aku juga berpamitan
dengan Febian. Masih ingatkah dengannya? Ini hanya adegan untuk berpamitan.
Jadi tak perlu lama-lama untuk kembali berbincang. Yang ada, aku akan semakin
berat untuk melepasnya. Melepas mereka yang tak kuketahui kapan lagi akan
berjumpa. Air mata yang sudah kubendung sedari tadi di depan sahabatku,
seketika tumpah di depan Febian. Aku mulai membenci adegan ini. Ini benar-benar
di luar skenario. Aku pasti akan terlihat lemah sekarang.
Kisahku dengan Febian
bukan kisah dalam film AADC. Bukan. Apalagi yang kembali setelah satu dekade seperti
yang sedang hits di televisi saat ini.
Itu terlalu lama. Bisa-bisa aku sudah mempunyai cucu kalau itu terjadi. Ah,
drama AADC mulai mengintimidasiku. Cukup Ummu, cukup. Bangunlah, agar kau sadar
bahwa kau hidup di alam nyata. I’m wake
up.
Ini saatnya membuat
pelarian agar aku bisa segera melupa. Bukan untuk melupakan mereka tapi untuk
melupakan kesedihanku. Bukan untuk menggantikan posisi mereka, tapi untuk membuatku
berlapang dada. Aku harus menyibukkan diri. Inilah cara termudah untuk menghibur
diri. Apakah aku lelah karena selalu berlari dari kenyataan? Tidak. Ini cukup
membuatku mengerti bahwa hidup ini harus terus berjalan dengan semestinya
walaupun kita kehilangan orang-orang terdekat. Di tangan ini, kita sendiri yang memegang kendali hidup kita.
Allah memberikan
waktu-waktu tertentu untuk kita nikmati. Ada kalanya tertawa, bahagia, berkawan,
merasa dicintai, agar kita tahu betapa dunia ini indah. Ada pula saatnya kita
merasa bersedih, sendiri, merasa disisihkan agar kita tahu bahwa hanya
Allah-lah satu-satunya yang kita miliki.
Doaku: semoga kita bisa
bertemu di persimpangan yang lain.
2 comments:
Kenapa namanya harus Febian ?
Suka aja namanya mas. Tapi nggak pake "r" ya :p
Post a Comment