Teman Baikku



“Kau dapat undangan. Ini.” Danis menyodorkan sebuah undangan pernikahan yang terbungkus rapi dengan pita merah.
“Dari siapa?”
“Kau bisa melihatnya sendiri setelah kau membukanya. Buka saja.” Danis menatapku.
Aku acuh. Segera kubuka undangan berwarna putih tulang berpita merah itu. Diam. Aku membeku. Aku sangat mengenali satu nama di dalam undangan tersebut. Bagaimana aku tidak mengenalinya, setelah 5 tahun lamanya kita berteman baik.
“Kau tidak apa-apa?” Danis masih menatapku. Aku tahu kenapa dia menatapku. Dia ingin melihat ekspresiku saat membuka undangan yang dia berikan.
“Ara, kau baik-baik saja?” Danis menggoyangkan bahuku.
Aku menyadari bahwa aku telah berbuat sesuatu hal yang mencurigakan.
“Ah, ya. Aku tidak apa. Haha. Hanya kaget. Kabar ini begitu mendadak. Kau kan tahu, dia lama menghilang tiba-tiba muncul dengan kejutan seperti ini. Haha.” Entah kenapa aku memilih untuk tertawa. Ah, payah. Lagi-lagi tawaku mengundang curiga. Danis masih memandangku.
“Sudahlah. Aku tahu Ra. Aku tahu sejak dulu. Kau menyukainya bukan?” pertanyaan manis yang membuatku terjebak.
“Kau mengigau ya?”
 “Untuk apa kau menutupinya. Semuanya tergambar jelas di wajahmu. Aku tahu dari caramu menatapnya. Caramu mencari-cari kabarnya saat ia menghilang dari kita. Aku bahkan tahu kau berusaha untuk menutupinya. Kenapa? Kenapa kau melakukannya? Tidakkah kau menyesal sampai pada akhirnya undangan ini ada di tanganmu?”
Perisai dalam hati yang kubingkai kuat, seketika berubah menjadi kepingan-kepingan kecil.  Kali ini aku menunduk. Tak lagi mampu membantah pernyataan temanku itu.
“Katakanlah padanya sekarang sebelum terlambat. Katakan padanya bahwa kau menyesal. Katakan bahwa kau juga mencintainya. Sebelum semuanya terlambat, Ara. Dia sangat mencintaimu, dulu.”
Mataku semakin berat. Mataku menjadi sembab oleh air yang mulai menggenanginya. Namun aku masih bisa tersenyum walaupun sedikit terpaksa.
“Hari ini tidak sama dengan dulu. Semuanya sudah terlambat Dan. Bahkan aku sudah mulai menyadari keterlambatan itu ketika dia mengatakan padaku bahwa dia mempunyai teman wanita yang dikenalnya dari dunia maya. Wanita itu sering bercerita tentang kisah cintanya yang pilu. Dari situ, mungkin timbul rasa bahwa dia ingin melindunginya. Dan aku sudah menjadi  wanita yang kuat tanpa perlu ia lindungi.”
“Ara, bisakah kau katakan padanya tentang semua perasaanmu padanya? Mungkin keadaan akan berubah.”
“Danis. Itu bukan berita baik. Justru aku akan merasa bersalah bila keadaan berubah.  Aku akan mempermalukan kedua keluarga itu. Tidak hanya malu, akan banyak yang tersakiti.”
“Perlukah aku yang mengatakan itu padanya jika kau terus saja tak mau bicara?”
“Jangan. Jangan kau lakukan itu. Sudahlah. Semuanya sudah terlambat. Mereka sudah bahagia. Mungkin wanita itu lebih bisa mencintainya daripada aku. Mungkin, dia lebih mengharapkan wanita itu daripada mengharapkanku. Wanita itu butuh perlindungannya daripada aku. Kau tahu kenapa aku tak pernah bisa bersamanya?”
Danis hanya mengernyitkan dahi.
“Itu karena dia memang bukan untukku. Kau sudah tahu semuanya kan? Dia mencintaiku. Aku tahu itu. Sangat mencintaiku. Tapi apa yang kuperbuat? Aku selalu membatasi diri walaupun sebenarnya memiliki perasaan yang sama. Saat dia mendekat, aku menjauh. Saat dia menjauh, aku ingin semakin menjauh. Saat aku merindukannya, aku berusaha mendekat. Namun dia sudah bersama yang lain. Lalu aku bisa apa?”
“Tapi kau tak pernah mengatakan bahwa kau mencintainya, bukan?”
“Cinta tak perlu diucapkan. Karena cinta bukan sekedar kata yang ingin didengar, tapi dirasakan.  Aku bisa merasakan cintanya tanpa perlu aku mendengar bahwa dia mencintaiku. Dia mengajariku seperti itu. Dia orang yang begitu peduli padaku, saat aku mengacuhkannya. Dia orang yang begitu menyayangiku saat aku menyayangi orang lain. Dia orang yang selalu ada untukku walaupun aku tidak pernah ada untuknya. Dia yang sering kurepotkan ketika aku butuh bantuannya. Aku juga tidak tahu kenapa bisa seperti ini. Kita sama-sama menyukai tapi kenapa aku malah berpacaran dengan orang lain? Bahkan kita selalu berteman baik. Ini semua di luar kuasaku Danis.” Aku mulai terisak.
“Kalian terlalu mempersulit diri untuk saling mengatakan cinta hingga akhirnya kau menerima pernyataan cinta dari orang lain. Begitu juga dia menyatakan cinta terlebih dulu ke orang lain bukan padamu.”
“Itu karena, dia bukan untukku Danis. Tak apa.  Aku akan baik-baik saja. Tak perlu ada yang disesali. Aku percaya, suatu saat cinta akan mendatangiku lagi.” Aku masih saja mencoba untuk menarik bibir ke atas.
“Tapi kenapa bisa serumit itu?”
“Ya seperti itulah hidup. Terkadang, pertanyaan-pertanyaan di dunia ini diciptakan tanpa jawaban. Aku pun masih berusaha mencari jawaban dari pertanyaan yang belum terjawab itu. Aku masih tak percaya kenapa dua hati yang saling mencintai tak bisa bersatu karena alasan yang aku sendiri tidak kuketahui. Mungkin ini salahku. Karena aku terlalu menutup diri. Ah, sudahlah.”
“Kau akan datang di acara pernikahannya?”
“Tenang saja. Aku tak akan menghindar.  Aku jelas akan datang. Dia teman baikku.”
“Kurasa kau perlu membawa lelaki untuk mendampingimu. ”
“Untuk apa? Tak perlu. Aku akan datang bersamamu. Bersama teman-teman baikku.
Danis tersenyum. “Aku tahu Ra. Kau perempuan yang kuat. Aku juga percaya. Di luar sana, ada lelaki yang lebih kuat yang bisa melindungimu kelak.”
                Aku tak menggubris ucapan Danis. Lebih memilih untuk menyesap dalam-dalam juss strawberry yang mulai mencair di depanku. Aku harap semua kekecewaan akan terobati saat teguk demi teguk air ini membasahi kerongkonganku.

Teman baikku, maaf, aku telah melewatkanmu.

No comments: