Itu bukanlah hanya sebuah
foto bergambar rumah yang nampak seperti gubuk. Sekali lagi bukan. Namun sebuah
rumah dengan segala isinya. Segala isinya???
Ya benar. Jangan kau
lihat isinya berdasarkan berapa banyak barang yang memenuhi setiap sudut
ruangannya. Juga jangan kau pikir berapa jumlah seluruh isi rumah tersebut bila
diuangkan. Jangan dan tidak. Tapi lihatlah isinya
dengan nilai-nilai sebuah perjuangan hidup, harapan dan impian. Perjuangan 7
hati untuk menapaki kehidupan dan menyapa pagi. Berjuang ditengah arus derasnya
kehidupan. Dari keegoisan memperebutkan jabatan.
Istana kecil yang
dipimpin oleh seorang raja. Pemimpin yang diharapkan bijaksana. Seseorang yang
akan melakukan apapun agar ke 6 bidadarinya mendapatkan pelangi setelah hujan
badai. Itu seharusnya. Sebuah harapan dalam mimpi tidurnya. Bunga tidur yang
sangat indah untuk mereka. Tapi ini bukan negeri dongeng Alice In Wonderland
ataupun Puteri Sinderela. Maka mereka harus segera bangun dan menghadapi
kenyataan.
Sang raja tidak
benar-benar raja. Dia menyengsarakan 6 bidadarinya. Dibiarkannya mereka hidup
dalam batas kekurangan. Membiarkan mereka yang seharusnya menikmati masa-masa
kecilnya dengan kebahagiaan justru mereka harus merasakan pahit asinnya kehidupan. Permaisuri mendapati sakit. Tidak adanya biaya untuk pengobatan.
Jangankan itu. Untuk mengisi perutpun dibiarkan anak-anaknya yang masih kecil
untuk mengais makanan sendiri. Memungutnya dari kebun-kebun liar. Dan sibungsu
yang masih sangat kecil dan tak tau apapun karena hanya bisa menangis. Ya,
sibungsu masih bayi kala itu. Empat kakak perempuannya bahu-membahu untuk
mengurus kebutuhan rumah mungil itu.
Apa yang dilakukan sang
raja sebenarnya? Membiarkan mereka terlantar sepeti itu, tega kah? Sang raja
hanya bekerja jika mau. Kalau tidak, dengan enaknya berhutang sana-sini untuk
biaya sehari-hari. Bahkan yang ia lakukan hanya membuat penyakit permaisuri
makin memburuk dengan permasalahan-permasalahan sang raja. Pemimpin macam apa
itu?
Akhirnya permaisuri
meninggal karena penyakitnya. Meninggalkan buah hati mereka tercinta untuk
selama-lamanya. Membiarkan mereka kedinginan tanpa pelukannya. Membiarkan
mereka untuk mandiri dengan hidupnya yang baru tanpa bekal yang cukup. Untuk seusia mereka itu
sangat membebani tentunya. Untuk hidup mereka kedepan, mereka tinggal bersama
raja yang malas bekerja. Untuk apa mengandalkan sang raja seperti itu?
Setelah mereka cukup
umur walaupun sebenarnya masih dibawah umur. Mereka membubarkan diri untuk
berkelana mencari kehidupan yang layak. Mereka merantau. Ada juga yang diadopsi
oleh orang lain. Sedangkan si bungsu yang masih di asuh oleh kakakya masih
tinggal bersama sang raja. Kota metropolitan menjadi sasaran urbanisani. Dari
kecil mereka sudah terbiasa hidup dengan keadaan serba pas. Mereka
mengidam-idamkan kebahagiaan. Bukan hanya kebahagiaan lahir tapi juga batinnya.
Mereka ingin melihat pelangi setelah gerimis.
Bertahun-tahun sudah
mereka merasakan kepatihan dalam hidupnya. Alhamdulilah, mereka mendapatkan
pelangi juga setelah perjalanan yang begitu panjang dengan peluh keringat.
Usaha keras mereka terbayar di masa tuanya. Istana kecil itu
menyaksikannya. Saksi biksu sebuah perjalanan hidup para pemimpi kecil. Dan
biarlah rumah itu tetap berdiri kukuh sampai rapuh pada saatnya.
2 comments:
itulah perjuangan...semua tak smudah membalikkan selembar kertas....
kadang istana kecil lebih bermakna dari istana besar yang mewah...
:)
Post a Comment