Pastilah tak asing lagi
bagaimana gambaran suasana di sepanjang koridor depan kelas sebelum ujian
dimulai. Ramai, riuh dan penuh dengan pertanyaan seputar ujian, banyolan bahkan
curhatan mantan. Bergerombol, menyendiri, berdua ataupun masih ada yang
terlihat sibuk dengan bacaan ditangan. Ini bukanlah panggung drama dengan
banyak skenario ataupun majalah model. Inilah realita yang sering terjadi dan
sangat umum.
Adila duduk memojok
disudut koridor. Matanya menari-nari diantara puluhan pasang mata yang lain.
Menelusup melewati celah diantara tubuh-tubuh penerus negeri. Pandangannya
tertahan oleh seorang laki-laki dalam hujan kemarin. Febian. Benar, dia.
Laki-laki berkulit putih, berhidung mancung dengan poni lurus yang menutupi
keningnya serta berpostur tinggi semampai. Senyumnya manis dengan lengsung
pipit di kedua pipinya. Itulah hadiah keberuntungan yang Adila dapat. Bahkan ia
sudah lupa berapa lama senyuman itu mewarnai hari-harinya sampai saat ini.
Canggung itu terasa
ketika mata yang sedang ditatap itu menyadarinya. Dengan raut muka penuh
innocent, Adila berpura-pura memalingkan muka. Merogoh kantung tas kecilnya
untuk mendapati handphonenya. Mata itu menatap seolah ingin mengajak Adila
berbicara.
“Aku
memang seorang penjahat. Penjahat yang kerap kali mencuri senyuman pemiliknya.
Aku berharap, sebuah amnesti itu ada untukku darinya .” Batin
Adila.
Terlihat beberapa
pengawas ujian mulai memasuki ruangan. Kami yang memang sedari tadi menunggunya
pun segera menyusul mereka dan berbaris memasuki ruangan masing-masing. Sebelum
memasuki ruangan, Febian melemparkan senyum pada Adila. Dan kali ini Adila tak
menghindarinya. Itu memang diberikan untuknya. Untuk Adila.
1 comment:
dan ujian pun dimulai dengan bayangan senyuman Febian dalam benak Adila. Entah senyuman atau ujian yang ada di benak Adila :D
Post a Comment