Aku bukanlah
satu-satunya mahasiswa yang menderita penyakit galau di ujung semester. Aku
yakin, banyak rekan ku diluar sana yang juga senasib dengan ku. Akhirnya aku
merasakan kebahagiaan seperti kakak senior dulu. Sungguh luar biasa bahagia,
sampai-sampai aku sendiri tak mengerti dimana titik kebahagiaan itu. Dan
akhirnya aku hanya bisa menikmati sisa-sisanya saja. Ya, sisa-sisa kebahagiaan.
Mengejar deadline, mengejar revisi, dan mengejar dosen, mengurung diri semedi di
kamar, ngerusuhin tetangga dan muntah-muntah ngeliat koding. Ah itu hal yang
lumrah dan wajar bagi kami. Kami para pemburu toga 2014. Rutinitas selama
menjalani semester akhir kami ini, kerap kali dihantui oleh laporan, laporan,
dan laporan. Program, program dan program. Nyereminnya ngalahin didatengin ibuk
kos yang triak-triak nagih uang kos yang nunggak.
Aku tau, tingkat stress
tiap orang berbeda-beda. Ibarat level itu ada 10, pada level 2 pun pasti ada
yang sudah menginjak zona stress. Ada pula yang melewati level itu dengan
sangat mulus. Semulus melewati prosotan air yang ada di water boom. Jalan aja.
Tau-tau udah sampe aja dalam beberapa detik.
Dengarkanlah ratapan
hati satu manusia ini yang pernah mengalami galau akut.
Otakku terpaku pada
sebuah tugas besar yang sedang menyambangiku. Aku tengah di uji dihadapan Tuhan
ku. Ujian ini berkaitan dengan pilihan ku. Aku masih saja berkutat dengan
koding setelah seharian menatap layar dan sampai malam pun aku masih pada
posisi yang sama. Miris sekali hati ini, memahami baris-baris tak bermelodi
itu. Seperti belati yang menghujam satu-satunya pusat kehidupan ku. Jantung.
Tepat tengah malam. Aku
mulai berputus asa. Diatas kepalaku seperti ada beban batu yang menggunung.
Berat. Aku tak bisa lagi berfikir jernih. Ku tutup layar kerjaku. Ku diam kan
otak yang mulai memanas ini. Aku berharap akan mendingin segera. Tapi dugaan ku
salah. Pikiran ku makin mengacau. Otakku berdemo. Mereka memblokir rute jalan
yang akan ku lewati. Macet.
Tak terasa air sungai
mulai menganak sungai. Deras dan semakin deras. Aku mulai sesenggrukan
dibuatnya. Aku malu pada dinding-dinding kamar ku. Mereka menatap ku tajam. Ku
tarik bantal tidur untuk menutup mukaku. Aku tak ingin mereka menertawaiku.
Bahkan cicak-cicak piaraan ku pun meledek ku dengan berlarian girang. Ahh
menjengkelkan. Aku ingin menangis. Sungguh. Ku luruhkan semua kegelisahan ku
bersama air mata berhargaku. Aku merasa lemah kala itu. “Tuhan, kuat kan aku.”
Kata ku lirih.
Sampai akhirnya, anak sungai
itu mengering dengan sendirinya. Aku merasa lelah dan aku ingin tidur. Aku
terlelap, terbuai bersama musik-musik jazz penghantar tidur ku.
1 comment:
cukup singkat, tapi maknanya bikin terngiang-ngiang....aduh duh,,,huhu
Post a Comment