Sebuah jiwa kosong,
sepi dan tanpa makna. Itu menurutnya.
Merindukan kedamaian dan kasih sayang berarti. Menggembala tanpa mengerti apa
yang ia tidak ketahui. Mencari tanpa tau apa yang sudah hilang. Dan seperti
menemukan tanpa merasa kehilangan.
“Hahhhh.” Helaan nafas
sesekali ia hembuskan.
Berusaha menghilangkan
kepenatan yang sedari kemarin terus saja meggumpal mengikuti langkahnya. Dilemparnya
batu-batu kecil ke danau menghasilkan denting-denting irama syahdu. Itu awal. Mulai terdengar petik demi
petikan gitar bergema.
Ini bukan Sheila yang
dikenal. Lalu…?? Itu lah jiwa lain
darinya. Dari 365 hari dalam setahun, beberapa menit dalam 24 jam, ada dan
pasti ada beberapa waktu dimana ia hidup seperti orang lain. Merealisasikan kehidupan
tidak segampang melukis di atas kertas. Bahkan
bagi mereka, jiwa-jiwa tanpa makna. Menurutnya.
Digendongnya jauh-jauh
gitar klasik kesayangan pemberian sang Ayah menuju sebuah danau dilereng
pegunungan. Sudah menjadi kunjungan rutinitas baginya setiap tahun.
Jiwa lain itu selalu
berbicara ketika ia sendiri dalam kesunyian. Seperti ikut merasa apa yang
sedang dialami, menopang ketika tubuh itu melemah, menguatkan ketika hatinya
menjerit, dan suara-suara itu berbicara ketika ia haus akan nasehat bermakna
yang mendamaikan. Malaikat Pelindung, ia menyebutnya. Terkadang Malaikat
Pelindungnya lenyap tergantikan oleh suara-suara jahat yang semakin membuatnya
frustasi. Ia datang untuk mengacau keadaan yang memang sudah berantakan, hingga
ia semakin jatuh terlalu dalam.
Memetik
gitar dan bernyanyi ditempat yang tak banyak orang akan mengacau, ia habiskan
untuk menikmati hal teristimewa dalam harinya. Tidak menurut orang lain tapi
istimewa menurutnya. Sebuah cara sederhana memang untuk membahagiakan dirinya.
Dia berbisik lirih padaku.
“Over imaji.
Bukan dan tidak seperti apa yang ada dalam fikirmu. Kau hanya cukup tunjukan
kemampuan mu. Ubah penglihatan mereka padamu. Jangan membatasi diri. Itu hanya
akan menghalangi kepakan sayapmu. Fikiran macam apa itu? Ketika semua orang
berjalan maju untuk mengejar bintang mereka masing-masing, namun apa yang terjadi
padamu? Kau bahkan tak melangkah sedikitpun. Kau hanya diam dan bahkan kau
berusaha untuk menenggelamkan angan mu.”
Ini
ketidakwarasan yang kerap kali hadir membayangiku. Menghentikan setiap langkah yang akan ku
ambil.
Entah itu hati ataupun jiwa lain yang tinggal dalam dirinya. Namun itu bukan
kali ini saja terjadi. Tengah malam sebelum mata itu terpejam, sering kali hatinya
selalu berbisik memberikan sebuah kekuatan dalam dirinya atau kadang sebuah kecaman
atas kegagalan yang telah ia lakukan.
Pernah
suatu malam kala itu ia terbangun. Dipejamnya lagi mata itu namun seperti ada
yang menghantuinya. Sayup-sayup terdengar suara berbisik ditelinganya. Awalnya
ia merasa paling hanya sebuah mimpi, namun semakin lama suara itu semakin keras
terdengar. Namun tak bisa dimengerti.
Nampaknya
hari itu kurang bersahabat. Langit begitu mendung seakan ingin segera
menumpahkan keharuannya. Butiran
air kehidupan kembali turun menyirami bumi. Seakan rombongan pasukan yang
menyerbu benteng lawannya, titik-titik air itu berjatuhan. Sheila berlari
sambil menenteng gitarnya mencari tempat untuk berteduh disebuah gubuk
berukuran 2x2 meter.
“Yaahhh
ngenes.” Desahnya. “Semoga hujan cepat berhenti Tuhan. Amiin.”
Handphone
Sheila berdering. Indra.
“Halloo
Ndra.” Sapa Sheila.
“Lagi
ngapain lu ujan gede gini?”
“Aku,
aku lagi main gitar Ndra. Asyik lo main gitar ditengah hujan turun.”
“Sinetron
banget.”
“Diem
lu ah. Ngapain si kalo telfon tujuannya ngejekin mulu.”
“Ngejekin
kamu kan kerjaan ku. Hhahaa.” Tertawa memaksa. “Enggak, ada kok tujuannya.”
“Apaan?”
“Ntar
malem ikut aku yha?”
“Kemana?”
“Ada
deh. Liat aja ntar. Kamu pasti bakal seneng.”
“Aaah
aku sibuk!” Jawab Sheila.
“Sesibuk
apa si? Ayoo lah. Aku jamin kamu nggak bakal nyesel ikut aku malem ini.”
“Hahhh..”
“Aku
anggap jawabanmu iya. Aku jemput jam 7 malem titik. Hati-hati, ujannya gede.”
“Nut..nut..nut.”
Telfon terputus.
“Selalu menutup telfon semaunya
sendiri itu orang. Aahh Indra ini apa-apaan si. Nggak tanya dulu aku bisa apa
enggak, aku lagi dimana gitu kek.”
Diliriknya
jam tangan model cowok menunjukkan pukul 3 lebih 15 menit. Mau
pulang gimana ujan gede gini. Sheila terus saja menggerutu sambil sesekali
melirik jam. Perjalanan
dari danau menuju rumahnya nya membutuhkan waktu hampir 1 jam. Namun hujan
sepertinya belum enggan untuk berhenti menangis. Akhirnya ia memutuskan untuk
menerobos hujan karena Indra.
Jalan yang ia lalui berliku-liku, naik turun
juga licin. Jarak pandang hanya 5 meter didepan mata. Kabut pegunungan
menutupinya. Saat melewati sebuah tikungan tajam, dari arah depan melaju cepat
sebuah mobil bak terbuka. Tabrakan pun tak bisa terhindari.Sheila
jatuh tersungkur dari atas motornya hingga tak sadarkan diri. Gitarnya masih
melekat pada punggungnya. Darah segar mulai menetes dan berbaur dengan air hujan.
...........
1 comment:
trus sekarang sheila kondisinya gmn ? apakah parah ?
Post a Comment