Aku adalah seorang pemimpi. Sebagian mimpi kecilku,
puncak Merbabu. Aku berhasil menggapainya.
Aku terbangun oleh suara alarm
handphone yang aku setting tepat pukul 4.30. Begitu membuka mata aku sangat
ingat akan kegiatanku hari itu. Aku dan teman-teman akan berangkat menuju
basecamp gunung Merbabu, terletak di desa Selo selepas subuh. Terlalu ambigu
memang mendengar kata “selepas subuh”. Kami akan menahlukkan Merbabu. Sepagi
itu, aku seorang diri sudah membuat gaduh kos. Gemericik air kran membuat gema
seisi rumah kos lantai 1. Namun penghuni kos tak menghiraukan ledekanku. Mereka
masih asik dengan mimpinya masing-masing. Ah aku tak berbakat. Aku merasa
diacuhkan.
Pukul setengah 6, aku sudah siap
semuanya. Meskipun akan mendaki gunung, aku tetap terlihat sedikit kece dengan
taburan debu kuning dan lips gloss berwarna pink. Pintu kamar terbuka lebar.
Aku termangu-mangu berdiam di depan pintu. Sesekali ada motor melewati tempat
tinggalku, mataku dengan otomatis mengatur titik fokus lensa. Ah sayang sekali.
1 jam 30 menit berlalu, yang kutunggu tak kunjung datang. Aku dihantui banyak
pertanyaan memenuhi rongga kepalaku. Oh,
jam 7 masih terhitung selepas subuh ya. Ya masuk akal si. Mungkin mereka
berangkat dari belahan bumi bagian PHP (Pemberi Harapan Palsu). Ya ya ya. Aku
menghibur diri atas kelucuan pagi itu. Ataukah aku harus menyesal karena air
dingin itu telah menyiramku dengan amat sensi? Jahat sekali ia.
Kuketik sebuah pesan untuk
memastikan nasib keberadaan mereka. Iya
ini mau berangkat. Begitu balasan yang kuterima. Aku semakin yakin
sekarang, bahwa mereka tidur di alam lain. Lihatlah matahari sudah bergeser
berapa derajat dari jam subuhku. Aku tak lagi seperti anak kecil yang sedang
menunggu abang cilok melewatiku. Kini mataku terpana pada kartun kuning
berbentuk kotak dengan teman sepermainannya berbentuk bintang berwarna pink.
Cukup mengobati sakit hati dipagi hari sembari meyeruput hot cokelat penyelamat
hariku.
Ditengah keasyikan ini, namaku
dipanggil seseorang. Ia sudah berdiri di depan gerbang pintu kosku. Kupastikan
lagi bahwa suara itu benar-benar memanggilku. Bisa jadi itu hanya halusinasiku
dan orang yang sedang berdiri itu adalah tamu dari teman satu kosku. Mereka
menampakkan diri. Tanpa rasa berdosa dua orang melambaikan tangannya ke arahku
yang berada di lantai dua. Ingin sekali rasanya melempari mereka dengan sepatu
yang sudah satu jam lebih aku biarkan dingin di depan pintu dan berteriak
“Khusuk sekali sholat subuhnya!!”. Kata orang, orang sabar disayang Tuhan. Maka
dari itu aku ingin menjadi orang penyabar. Oke. Aku berpura-pura sabar.
Kulemparkan saja senyum termanisku pada mereka seraya membalas dengan lambaian.
Mereka terlihat bahagia sekali membuat bedakku luntur.
Segera aku merapikan diri. Tak sampai
10 menit aku menghampiri mereka di bawah. Aku masih saja meladeni mereka dengan
senyum manisku. Bahkan satu diantara mereka menyambut kekesalanku dengan bunyi
kamera yang ia pencet dengan tangannya sendiri. Selfie. Dengan wajah
berseri-seri ia mengajak kami berfoto. Ini penyogokkan. Herannya aku sendiri
tak ada penolakan. Bahkan, justru aku terlihat paling bahagia diantara mereka. Ah apa-apaan ini. Kami akan berangkat
dengan anggota berjumlah 8 orang. Sebenarnya rombongan kami berjumlah 13 orang.
Namun something wrong membuat kita
harus menuju TKP terlebih dahulu. Ia berjanji akan menyusul kami dengan segera.
Kami berangkat.
9.00 AM rombongan sampai di
basecamp. Terlihat ada beberapa rombongan lain yang juga akan mendaki. Rencana
awal, kami akan menunggu 5 teman kami yang masih di Jogja. 2 jam berlalu mereka
tak kunjung datang. Hari sudah semakin terik. Matahari hampir membuat kita tak
memiliki bayangan lagi karena telah berada tepat diatas kepala. Kita akan
menunggu mereka dengan mendaki pelan-pelan. Dengan perkiraan, saat senja kami
sudah bisa mendirikan tenda di sabana 1. Dengan mendapat jawaban izin dari
mereka, kami akan mendaki dahulu. Sepakat, kita akan bertemu di sabana 1. Berbekal
satu tenda berkapasitas 2 orang saja, kami memulai pendakian. Tepat di pintu
utama jalur pendakian, kami melakukan ritual yang menurut kami itu adalah hal
wajib. Kami berdoa memohon perlindungan-NYA.
30
menit pertama wajah kami terlihat sangat bahagia dan segar. Seperti mawar merah
yang merekah dipagi hari bertitikan embun. Tanah lurus di depan membuat
langkah-langkah kami sangat ringan untuk diangkat. Tak ada wajah-wajah yang
begitu bahagia kecuali wajah kami ini. Sungguh tak terperi. Merah kami membara.
Menit 30 berlalu. Kini wajah-wajah merona tadi mulai menampilkan ekspresi-ekspresi
aneh seiring kemiringan tanah yang mulai naik beberapa derajat.
To Be Continue…..
3 comments:
untuk keseluruhan si oke, tpi ada beberapa kata yang tidak saya mengerti seperti, ' Sungguh tak terperi, Merah kami membara dll. '
dan terlalu banyak penggunaan ' . '
saya tunggu lanjutan ceritanya,...
akhirnya ksmpaian juga ya ke merbabu ? oleh"nya mana ? hahaha :D
Oke. Makasih masukannya..
oleh-olehnya sebuah kenangan :)
Post a Comment