Hutan putus asa?
Hutan itu sering menjadi tempat pelarian bagi
orang-orang yang berputus asa. Mereka tidak mau menghadapi kenyataan yang
sebenarnya. Sehingga ia melarikan diri dari nasib walaupun sebenarnya masih
bisa untuk dirubah. Namun tempat itu tidak secara gratis menerima kita. Hutan
putus asa akan meminta imbalannya. Kita akan dijadikan budak di sana untuk
bekerja pada malam hari. Lalu pada siang hari mereka diberi kebebasan. Hutan
itu memiliki seorang pemimpin bernama Gonji-gonji. Ia berwujud batu yang
bertumpuk-tumpuk. Ia mempunyai tangan, kaki dan mata. Walaupun ia tidak
memiliki telinga dan hidung namun kekuatan utamanya terletak pada indra penglihatannya
yang tajam.
Ia mampu mengancurkan lawan hanya sekali pukul. Tak
ada yang berani melawannya kecuali mereka yang ingin mati tak berguna. Dan dalam
hutan tersebut terdapat sebuah danau indah bermata air jernih yang kilaunya
memancarkan cahaya seperti permata. Air itu akan membawa ketenangan juga kedamaian
bagi yang meminumnya. Inilah yang dicari oleh orang-orang yang berputus asa.
Aku menjadi semakin tertarik untuk mengunjungi hutan putus asa tersebut. Tapi
tidak untuk menjadi budak di sana.
Aurora!! Aku
berteriak histeris. Ini adalah pertama kalinya aku melihat aurora yang sering
diceritakan dalam buku. Cahaya itu menyala dengan indahnya pada lapisan
ionosfer. Aurora terlihat kemerah-merahan di ufuk utara seolah-olah matahari
akan terbit dari arah tersebut. Menakjubkan.
Beberapa kali aku dibuat takjub dengan pemandangan-pemandangan tak biasa
yang tidak akan kutemui di duniaku. Aku
seperti sedang bermimpi. Lain dengan hutan putus asa, lain pula dengan
aurora.
“Angelina, pusaran apa itu?” Aku mengacungkan
telunjuk ke arah sebuah pusaran angin berwarna biru keunguan di pintu masuk
sebuah gua.
“Itu adalah lingkaran dimensi waktu. Lewat pusaran
itu manusia di sini bisa datang kemasa depan. Namun lingkaran itu hanya akan
muncul satu kali dalam 4 musim.”
“Untuk apa mereka datang ke masa depan Angelina.”
“Beragam alasan datang dari para pengguna dimensi
waktu tersebut. Salah satunya adalah untuk melihat nasib mereka di masa
mendatang. Namun untuk masuk dalam lingkaran tersebut memiliki banyak resiko.
Kau bisa saja tersesat dan tak akan bisa kembali lagi.”
“Mengerikan.” Aku bergidik.
Tak terasa kami telah melewatkan hampir setengah
malam mengudara bersama kereta Santa. Angelina telah menunjukkan banyak hal
yang tidak mungkin menjadi mungkin dan hanya imajinasi menjadi nyata. Ini semua
nyata dan ada. Andai aku bisa mengajak teman-temanku ke sini, mungkin mereka
akan diam dan berhenti untuk mengejekku. Namun Angelina memperingatkanku untuk
menyembunyikan Negeri Annora ini. Negeri ini hanya bisa dilalui lewat lukisan di
gudang penyimpanan bawah rumahku.
“Sebentar lagi fajar akan tiba. Sebaiknya kita
segera mendarat Aurel. Lain waktu akan aku ajak kau melihat hal yang belum kau
lihat hari ini. Kau harus tidur sebentar sebelum kau memulai latihan.”
“Baiklah Angelina. Terima kasih sudah mengajakku
berkeliling.”
Angelina tersenyum.
Sampai di Istana, kurebahkan badanku di atas kasur
empuk yang sudah disediakan oleh dayang-dayang Angelina. Pandanganku
mengelilingi seluruh ruangan kamar berukuran kira-kira 10x10 meter itu. Ruangan ini terlalu luas untuk aku tinggali
sendiri. Andai….
Aku terpaku oleh salah satu foto di sudut ruangan di
samping cermin besar. Ayah, Ibu. Foto mereka terpajang di kamar ini.
Terkaan-terkaan itu seketika memenuhi rongga otakku. Inikah kamar Ayah dan Ibu sewaktu mereka tinggal di sini? Kerinduanku
pada mereka membawaku bertemu dengannya walau hanya dalam mimpi. Mereka
memelukku dengan penuh cinta. Tatapan mata mereka tak bisa dibohongi. Tak ada
ucapan yang mereka katakan padaku. Ibu hanya menepuk-nepuk pundakku sedangkan
ayah mengelus kepalaku. Kemudian mereka pergi. Aku menjerit memanggil mereka.
Namun mereka hanya berpaling dan terus berlalu.
Teriakanku membangunkan tidurku sendiri. Aku
terbangun dengan sangat tidak menyenangkan. Bangun pagi dengan keadaan seperti
ini membuat pagiku kehilangan arti. Ah. Aku menarik nafas dalam-dalam dan
membuangnya. Walaupun sinar mentari sudah menerobos melalui celah-celah tirai. Aku
masih saja tergeletak di ranjang memandangi foto Ayah dan Ibu. Sampai pintu
kamar berderit terbuka, aku mengolok.
“Bangunlah Aurel. Matahari semakin beranjak. Untuk latihan
hari pertamamu, kau akan belajar memanah. Itu salah satu skill yang harus kau
miliki. Bermain pedang dan selanjutnya bermeditasi. Percayalah kau pasti akan
bisa menguasainya.”
“Aku akan mencobanya.”
Aku terpaksa bangun untuk memulai kegiatan hari ini.
Sebenarnya aku masih ingin bermalas-malasan di bawah selimut tebal, tapi apa
daya tugas menanti. Aku merasa dibutuhkan dan dihargai. Tidak seperti di
duniaku. Mereka mengacuhkanku dan sering mengolok-olokku. Duniaku adalah tempat
kelahiranku. Namun sepertinya tak ada orang yang menginginkanku kecuali Ayah
dan ibuku.
Suatu saat kau
akan berlari menghampiri tempat ternyaman yang membuatmu merasa dihargai.
Tempat itu tidak akan menjadi tempat pelarian dalam hidupmu.
Aku berjalan menuju pekarangan belakang kastil. Terlihat
lelaki tua sudah berdiri menungguku. Pria paruh baya itu berkulit sawo matang
dengan jenggot hitam terurai sepanjang 10 cm. Sorot matanya tajam sampai menusuk
ulu hati. Walaupun terlihat garang namun pak tua itu terlihat tenang. Aku
mendekatinya dengan ragu-ragu tanpa membalas tatapannya terhadapku.
“Apakah seperti ini sikap seorang kesatria?” Kata beliau
tegas.
Aku terperangah mendengar ucapnya namun tetap saja
aku masih tertunduk tak menoleh pak tua yang ada di depanku. Pak tua memandangku
tajam. Aku tak bergeming sampai beliau memberikan sebuah isyarat dengan
mengeluarkan batuk kecil. Aku menyerah dengan keadaan ini. Kali ini aku memperbaiki
posisiku. Kubalas pandangan itu. Aku tidak pernah takut kepada siapapun di
duniaku. Bahkan seorang guru pernah aku lempari dengan kertas-kertas ulanganku
kemudian aku berlalu. Betapa kurang ajar dan sombongnya aku. Entahlah dengan
dunia ini. Kepedulian mereka menyentuh hati dan membuatku lunak.
“Guru, ajari aku ilmu yang kelak berguna untukku dan
untuk negeri ini guru.” Aku memberikan hormat padanya layaknya orang-orang yang
saling menunduk memberikan salam di negeri sakura.
“Jangan panggil aku guru. Panggil saja, Denes.”
“Baiklah Denes.” Aku memanggut.
“Apakah kau sudah pernah memainkan benda ini?”
“Belum. Namun aku sering bermain ketapel sewaktu
kecil dulu.”
“Sebelum menjadi pemanah professional, kau harus
menguasai terlebih dahulu teknik dasar memanah. Pertama adalah posisi berdiri
di mana kau harus berdiri untuk menyeimbangkan tubuh tanpa bengkok. Kedua, menempatkan ekor panah dan menempatkan gandar
pada sandaran panah. Ketiga…….” Pak tua memberikan pengetahuan dasar dengan
mempraktikan pelan hingga aku benar-benar paham. Awal mula memang terlihat
susah kerena aku belum terbiasa memegang benda seperti ini. Anak panah yang aku
lepas dari busur melesat dari bidikan. Berkali-kali aku mencoba berkali-kali
pula anak panah itu menjauhi titik sasaran. Kubanting busur panah ini dengan
keras. Aku berlalu meninggalkannya tak berdosa tergeletak di atas tanah. Denes memandangku
diam.
No comments:
Post a Comment