Lasem kembali menggegerkan desanya. Desa yang terletak di ujung
persawahan yang terbilang cukup sepi itu mulai terdengar bisik-bisik yang
membuat desanya mencekam. Ini kali ketiga Lasem membawa kabar tak sedap yang
akan membuat nama desanya ramai dibicarakan desa sebelah. Keluarganya pun harus
kembali menahan malu akibat ulahnya. Pelajaran pertama dan kedua ternyata tak
mampu membuat Lasem sadar. Sepertinya ia sudah tidak peduli lagi dengan omongan
orang. Malu mungkin sudah enyah dari hidupnya hingga kini ia berwajah tebal.
Bahkan ia semakin liar. Liar seperti orang yang tidak pernah menyentuh agama.
Wanita yang hampir menginjak kepala tiga
itu memang belum menikah. Lebih tepatnya belum menemukan jodohnya. Namun kini,
ia hampir beranak tiga dengan janin yang baru ada di dalam perutnya, sekarang.
Lasem bukanlah kembang desa yang menjadi rebutan hati para pemuda di desanya.
Bahkan penampilannya sama sekali tak menarik perhatian lelaki normal lainnya.
Jangankan para lelaki, orang-orang di desanya pun enggan untuk berteman
dengannya. Aroma tubuhnya tidak sedap, rambutnya keriting brokoli, dan Lasem
berbeda dari orang normal.
Jalannya tertatih dengan tongkat dari blukang yang
membuatnya kuat bertumpu untuk melangkah. Tapak kakinya selalu membekas ditiap
tanah yang ia dipijaknya. Panas maupun hujan, ia selalu berjalan tanpa
menggunakan alas kaki. Sejak lahir, ia mengalami kelainan pada kakinya yang
membuat kakinya membengkok dan tak bisa berjalan dengan sempurna. Kata sesepuh,
hal ini disebabkan oleh biyung dan rama-nya telah
mengabaikan pantangan. Pantangan yang turun temurun disampaikan kepada anak
cucunya. Biyung dan
rama Lasem
yang bekerja sebagai penjual daging ayam telah melanggarnya. Kemungkinan, satu
di antara biyung
atau rama-nya
mematahkan kaki ayam. Sesepuh bilang ‘ora ilok’.
Pantang untuk orangtua melakukan hal-hal semacam itu ketika si biyung-nya sedang
mengandung. Maka, lahirlah Lasem dengan kaki tidak sempurna disebabkan oleh
salah satu dari keduanya mematahkan kaki ayam.
Keluarga berkumpul di rumah Lasem untuk
menyidang perbuatannya. Maksudnya, lelaki yang telah membuatnya bunting itu
harus bertanggung jawab dengan meresmikan hubungan agar si anak lahir memiliki rama. Tetapi ia
memilih bungkam mulut.
“Sudahlah. I..ini pemberian Gusti Allah.
Kalian di..diam saja. Aku a..akan merawatnya. Ka..kalian jangan berisik!” nada
bicaranya terbata-bata namun keras terdengar.
“Tapi ini sudah ketiga kalinya kau
mempermalukan keluarga. Anak-anakmu kasihan nanti. Mau kau kasih makan dengan
apa? Batu?”
Uwak dan kakak-kakaknya terus menyudutkan
Lasem agar angkat bicara mengenai siapa rama dari bayi
yang sedang dikandungnya tersebut.
“A..aku yang hamil, ke..kenapa kalian
yang he..heboh? Tenanglah. A..aku bisa urus me..mereka dengan baik.”
“Kau lupa, anak pertamamu meninggal
karena apa? Dan anak keduamu yang kau jual kepada orang lain? Itu yang kau
sebut baik?”
“U..untuk kali ini, aku a..akan
merawatnya. Su..sungguh!”
Wataknya memang sangat keras. Bahkan si biyung-nya tak
bisa lagi menasehatinya. Tak jarang mereka saling bertengkar karena berbeda
pendapat. Keluarga tak bisa berbuat apa-apa lagi. Kemudian, rumah mungil itu
ditinggal bubar oleh kerabat-kerabatnya. Mereka hanya kasihan dengan kondisi
kehidupannya yang sudah susah yang mungkin akan membuatnya lebih susah lagi.
Ditinggalkan rama
sejak kecil sehingga
tinggal si biyung yang
bekerja seorang diri membanting tulang. Bahkan ia dan keluarganya dikucilkan
dari tetangga-tetangganya karena suka nyolong ayam-ayam
tetangga untuk disembelih lalu dijualnya. Tetangga-tetangga yang sudah maklum,
hanya bisa geleng-geleng kepala sambil menahan greget. Tak ada gunanya berdebat
dengan keluarga Lasem. Lebih baik mengalah.
Keesokan harinya, ibu-ibu rumah tangga
yang hendak menunggu tukang sayur sudah berkumpul di angkruk milik
Runtah. Sudah pasti berita hebat kemarin akan menjadi topik pembicaraan mereka.
Dan benar saja. Bisik-bisik tetangga mulai cetar digunjingkan. Hal ini sudah
ketiga kalinya, mengapa si ibu-ibu gosip penunggu sayur tak kunjung bosan?
Entahlah.
“Kalian tahu, kalau si Lasem sering
mangkal di pasar salak?” seseorang mengabarkan berita lain.
“Kau tahu dari siapa Sum?” seorang
menimpali.
“Aku lihat dengan mata kepala sendiri.
Aku pernah memergokinya di pasar. Ketahuan basah, dia tetap mengelak.”
“Kau lihat ia bersama dengan siapa?”
“Sayangnya tidak. Kata orang-orang pasar,
Lasem memang mangkal di situ.”
“Dasar tak tahu malu si Lasem. Tak tahu
diri. Lelaki seperti apa yang mau tidur dengannya! Gemblung!”
Warga semakin resah akibat ulah si Lasem.
Berkali-kali kampungnya keblingsatan karenanya. Aura kampung benar-benar
membuat penghuninya gelisah. Perut Lasem kian lama makin membuncit. Sampai usia
hampir 9 bulan, tak terlihat tanda-tanda lekaki dewasa dari cabang bayi akan
menampakkan diri. Pasti akan sama seperti cerita-cerita sebelumnya. Ia beranak
tanpa seorang rama.
Malam menjelang, kampung itu ramai dengan
suara jangkrik yang mengerik. Jalan setapak di kampung sepi. Angin malam
membuat orang-orang lebih memilih untuk diam di rumah. Hanya sesekali
orang-orang yang sedang ronda terlihat menyisir jalan. Selanjutnya mereka
memilih untuk diam di pos ronda. Dingin. Tiba-tiba mereka dikejutkan oleh
teriakan yang seorang wanita yang datang menghampirinya.
“Pak, tolong, aku minta tolong,”
orang-orang yang sedang ronda mengenalinya. Ia mak Sri, biyung Lasem,
“tolong panggilkan nyi Karti. Anakku Lasem akan melahirkan.”
Orang-orang ronda saling berpandangan
diam.
“Tolong anakku, Lasem, Pak.” mak Sri
memelas.
Biarpun Lasem telah membuat nama
kampungnya jadi jelek, tapi mereka masih memiliki hati nurani. Dua orang segera
berlari untuk menuju rumah nyi Karti yang berjarak 500 meter. Sementara itu mak
Sri kembali ke rumah untuk menjaga Lasem. Air ketubannya sudah pecah. Lasem
mengerang kesakitan. Ia menjerit-jerit sampai nyi Karti, dukun beranak di
kampungnya datang. Orang-orang yang semula bergeming di rumah kini mulai
mendatangi rumah Lasem. Mereka penasaran akan anak yang akan lahir itu seperti
apa rupanya. Rumah Lasem yang hanya berlampu petromaks, semakin terlihat terang
oleh lampu-lampu senter yang menyala.
Setelah 15 menit berselang, mulailah
terdengar suara bayi menangis dengan lantangnya. Suara itu berasal dari dalam
rumah Lasem. “Lasem telah beranak lagi”. Semua mata yang datang mulai
blingsatan ingin segera melihatnya. Namun nyi Karti belum mengijinkannya. Ia
akan membersihkan terlebih dahulu ari-ari bayinya.
Lasem tersenyum lemas di ranjang bambu
yang sudah sangat reyot dengan selimut sarung penuh tambalan. Selesai si bayi
dibersihkan, nyi Karti memberikan bayinya pada Lasem.
“A..anakku sayang. Kau ta..tampan sekali.
Kau t..tak perlu seorang rama, k..kau
hanya perlu b..biyung.”
Lasem mengelus-elus bayinya kemudian menyusuinya agar bayinya diam.
Sesaat Lasem terlihat menitikkan air
mata. Ia sedih karena anaknya satu ini lahir dengan tubuh yang tak normal
seperti dirinya.
Nyi Karti pulang setelah semuanya beres.
Sementara orang-orang di luar semakin gusar dan penasaran. Namun Lasem ataupun
mak Sri tak membolehkan seorangpun masuk. Pintu rumahnya ditutupnya
rapat-rapat. Orang-orang di luar rumah terlihat marah. Bahkan dua orang lelaki
yang membantu memanggilkan nyi Karti tampak mengumpat dan menyesal.
“A..anakku sa..sayang, minum su..susu
yang ba..banyak ya. Biar ka..kamu sehat. Hehehehe.” Tawanya cekikikan. Lasem
seperti orang yang tak waras.
No comments:
Post a Comment