Kenapa selalu ada nama Sheila On 7? Karena,
lagu-lagunya sering membuat tamparan hebat dalam hidupku. Liriknya membuatku
berkata, “Ya, inilah aku. Aku harus kuat. Aku harus seperti tokoh yang ada
dalam lagu ini”.
Hidup adalah proses. Betul? Ya,
semenjak jaman es dulu, kalimat itu sudah lahir. Hidup itu tidak mudah. Semua
kejadian tidak terencana sering muncul dengan tidak terduga. Rintangan demi
rintangan persoalan sebagai bentuk ujian hidup, datang secara bergantian
seperti polisi tidur. Kadang kita berhasil melewatinya dengan sangat mudah, kadang
sedang, dan kadang berat.
Kau tau? Seberapa sering polisi
tidur menghalangi jalan kita, seberapa tinggi polisi tidur menghalangi jalan
kita, percayalah, kau akan baik-baik saja dan pasti bisa menghadapinya.
Kuncinya: berusaha dan berdoa. Sebuah doa adalah sumber kekuatan yang tidak
bisa dikalahkan oleh apapun. Jadi, banyak-banyaklah berdoa. Allah Maha Tahu
apa yang terbaik untuk kita. Terkadang Allah tidak segera mengabulkan doa kita
pada saat itu juga. Allah menundanya di waktu yang terbaik.
Kau
tahu, apa mimpiku sepanjang tahun 2014? Aku berharap, aku akan memakai toga
sebagai hadiah akhir tahun bagiku. Sepanjang itu pula, coretan-coretan “Wisuda 2014” sering muncul dimana-mana
sebagai penyemangat untukku agar aku segera menyelesaikan studiku. Tapi Allah
berkehendak lain. Tapi, Allah menggantikannya dengan hadiah lain, yaitu “LULUS” di akhir tahun. Dan inilah waktu
terbaikku. Ada hikmah lain aku tak bisa memakai toga di tahun 2014. Apapun itu,
Alhamdulillah.
Aku ingin bercerita.
Aku
mengumpulkan naskah laporan Tugas Akhir ketika memasuki awal September.
Berharap, waktuku untuk berjuang di meja persidangan segera tiba. Sehari, dua
hari, seminggu, bahkan dua minggu aku terus belajar untuk memperdalam materi.
Namun waktu yang dinanti tak kunjung tiba. Semangat belajarku menurun ketika
waktu yang kutunggu itu mulai mencurigakan tak akan datang. Kututup setumpuk
kertas materi itu lalu aku menyibukkan diri. Sampai tak terasa 3 bulan berlalu
dengan sangat cepat. Tentu saja, aku hampir lupa dengan judul Tugas Akhir-ku
sendiri. Liburan sekolah tiba untuk mereka yang disebut siswa-siswi. Betapa aku
ikut bahagia mendapati hari libur serentak ini, walau, dari semenjak 3 bulan
yang lalu sebenarnya aku sudah menikmati liburan sendiri. Untuk merayakan ini,
aku berencana akan berlibur di rumah saudara di Jakarta. Tak cuma rencana, tapi
benar-benar ke sana. Aku berangkat bersama, bapakku. Bagaimana perjalanan
menuju kota metropolitan itu, ah, sebaiknya jangan aku ceritakan. Itu terlalu mainstream.
Petualanganku,
sampai juga di Jakarta. Hari pertama sampai di sana, aku disambut dengan
tai-tai ayam yang tersangkut di ranselku. Ya, tai ayam itu bagian dari
petualanganku. Ah, sungguh keren. Hari pertama adalah mencuci. Oke. Aku
masih merasa bahagia ketika itu. Hari kedua, aku masih saja bermalas-malasan di
rumah saudara. Lebih tepatnya, beradaptasi. Hari ketiga, ini hari yang keren.
Setelah semalam aku berhijrah dari rumah saudara menuju gedung RCTI untuk
menonton The Rissing Star, aku masih terlihat bahagia. Tepat di hari ketiga, aku
berencana akan memulai liburanku dengan menyusuri kota. Ingat, baru rencana.
Kau
masih ingat dengan temanku yang suka sekali bikin orang ingin bunuh diri? Bersebelahan
kursi, bersebelahan sekolah, dan bersebelahan kamar kos? Ah, iya, Doeng julukannya.
Itu dia. Jadi rencana main yang sudah direncana dari semalam tinggallah
rencana. Rencana, kita akan hangout dari
pagi. Tapi nyatanya ada saja hal yang membuat resolusi kita semalam tinggal
wacana saja.
Setengah
2 siang, kita baru menghirup udara luar yang sudah mulai sesak dengan polusi
itu. Sebelum acara jalan-jalan, mau tak mau aku harus mampir ke tempat bapakku
yang lokasinya tak jauh dari kontrakan temanku. Beliau akan pulang ke kampung
halaman, sementara itu aku masih akan menikmati liburan di sini. Angkot kuning
dilanjut putaran roda becak, hantarkan aku dan Doeng di tempat bapakku pukul
14.30 WIB, beliau sedang beberes akan pulang. Setengah jam duduk di sana membuatku
tak betah sebenarnya, karena tawaran main di luar lebih asyik.
Inilah
awal dari hancurnya liburanku. Berawal dari sebuah pesan dari nama yang
tersimpan dengan nama “Vitrie”. Isi pesannya seperti ini:
Vitrie : Jadwal pendadaranmu udah keluar.
Jelas
aku sedikit sensitif membaca pesannya. Secara, aku sedang liburan. Apa? Liburan! Ya,
benar.
Aku : Ini info atau tanya?
Aku
membalas pesannya masih dengan tertawa-tawa karena ada saudaraku juga sedang
berada di sana. Kami sedang ngerumpi.
Vitrie : Itu aku ngasih info.
Mendadak
aku merasakan kilat menyambar jantungku. Dan hampir saja jantungku melompat
mencari tempat berlindung. Aku mulai panik. Satu persatu temanku yang berada di
Jogja menjadi sasaranku. Satu persatu temanku mengabarkan berita itu. (Cerita
sebenarnya, pukul 9 pagi kira-kira, ada pemberitahuan di akun facebook. Temanku
menge-tag sebuah foto. Berhubung
koneksiku sedang tidak stabil, akhirnya aku mengabaikannya. Dan ternyata,
pemberitahuan itu adalah pemberitahuan penting. Teramat penting). Jelas aku
menyesalinya kenapa tak berusaha membukanya lagi. Hari itu adalah tanggal 13
Desember 2014. Sedangkan jadwal pendadaranku tercantum tanggal 16 Desember
2014. Aku hanya mempunyai waktu 3 hari untuk mempersiapkan semuanya. Aku
menjerit histeris.
Hidup
itu memang tidak pernah terduga. Dan ketika kita menghadapinya, kita dituntut
untuk segera memutuskan jawaban. Aku memutuskan untuk pulang dan membatalkan
apa yang disebut jalan-jalan, apalagi liburan. Itu tidak menarik lagi untukku.
Aku yang hanya memakai kaos oblong, sepatu sandal, dan tas kecil berisikan
dompet, memutuskan pulang ke Banjarnegara. Wait.
Lalu temanku? Ah, aku tidak sejahat itu dengan temanku, Doeng, yang akan dengan
sengaja meninggalkannya sendiri di tempat bapakku. Teman bapakku yang akan
mengantarkannya pulang. Empat tahun di Jogja saja masih suka tak tahu jalan,
apalagi di kota besar yang baru 2 bulan. Bisa-bisa aku didatangi orangtuanya
sambil melambai-lambaikan sapu. Hahahaha.
Aku
pulang tanpa ranselku beserta isinya yang sempat terkena tahi ayam itu.
Biarlah, ia menginap lama dulu di Jakarta. Aku sedikit egois dan tidak
mempedulikannya. Itu artinya, kali ini dia bukan prioritasku. Saat itu juga,
aku menuju terminal bus. Tiket tempat duduk itu punya bapakku. Kursi penuh.
Cerita selanjutnya, bapakku duduk bersama kondektur. Syukurlah beliau bisa
tidur nyenyak di tempat tidur kusus crew.
Singkat cerita, pukul 6 pagi aku sampai di rumah, di Banjarnegara. Waktuku
semakin menipis. Tinggal 2 hari lagi waktuku. Setelah cukup beristitahat, pukul
2 siang aku berangkat ke Jogja. Hari libur seperti ini jalanan merayap. Pukul 7
malam, baru sampailah aku di my jungle.
Oh,
Tuhan. Tubuh kecil ini serasa mau ambruk. Aku masih terlalu lelah untuk belajar
materi yang sudah kutinggalkan selama 3 bulan. Demi sebuah prioritas, aku harus
belajar malam itu juga. Setidaknya belajar sedikit untuk mengenang masa lalu.
Masa lalu? Maksudku, untuk kembali mengingat-ingat materi. Pukul 11
malam, aku benar-benar ambruk. Pikiran, tenaga, dan hati tidak sinkron. Aku tertidur dan bermimpi
buruk. Pukul 4 pagi aku terbangun. Aku kembali menyentuh mini notebook yang
sudah berjasa selama 4 tahun ini. Aku mulai belajar. Parahnya, program garapan
Tugas Akhir ini masih error. Dan butuh perbaikan. Aku terkekeh dengan raut
wajah masam. Saatnya melancong ke tempat yang bisa diandalkan setelah pagi tiba.
Pukul
9 malam, aku kembali ke kos setelah melancong ke negeri antah berantah. Malam
ini, adalah malam terakhir aku harus berjuang untuk mendalami materi secara SKS
(Sistem Kebut Semalam). Demi kesehatan, tak lupa aku memperbanyak makan.
Detik
berlalu dengan cepat sekali. Bak roller
coaster yang berjalan 360km/per detik. Waktu sudah menunjukkan pukul 3
pagi. Sedangkan pukul 8 pagi aku harus sudah siap di meja sidang. Pilihan
terakhir, aku hanya bisa pasrah dan berdoa. Pukul 3 aku menutup mata. Ragaku terbaring, namun
jiwaku melayang jauh. Semuanya terasa tak keruan. Aku terlelap. Pukul 4 aku terbangun.
Mataku tak bisa lagi terpejam. Di detik-detik terakhir, waktu kugunakan untuk
mengumpulkan nyali. Keping demi keeping pecahan nyali dan semangat mulai
sedikit menghangatkan jiwa ini. Sampai tepat di mana aku berdiri di meja
persidangan.
Untuk
sampai berdiri di meja sidang, aku tidak sendiri. Bantuan selalu datang dari
teman-teman dengan tidak terduga. Bantuan dari Allah tepatnya. Ada saja tawaran
bantuan yang datang secara beruntun. Semuanya terasa begitu mudah dilewati ketika sudah dititik pasrah dan ikhlas. Tanpa teman-teman, aku hanyalah butiran debu. Terima kasih teman-teman.
Syukurlah. Ujian skripsi berjalan sangat lancar. Yang terpenting adalah berusaha sekeras mungkin. Biarkan Allah yang mengatur hasil akhirnya.
No comments:
Post a Comment