![]() |
Foto diambil dari dodiprananda |
Itulah mengapa ‘ragu-ragu’ menjadi
sikap yang aku benci dalam diri. Karena, di lain waktu, keragu-raguan itu bisa
menjadi bumerang yang kembali pada tuannya dan siap menancap dalam tepat di
hati. Menyesal itu tak pernah datang di awal. Aku mengutuki diri sendiri yang
terlalu sombong dan berpura-pura acuh.
Malam itu, terdengar gema takbir yang
datang dan kemudian lenyap di antara angin yang terpias oleh deru mesin-mesin
yang saling bersalip. Melaju dengan 60 km/jam di jalan yang tak begitu ramai,
aku terbuai imajinasi dan sesekali kehilangan kesadaran dalam beberapa detik.
Ah, selalu ada potongan-potongan cerita yang membuat duniaku teralihkan.
Tepat di lampu merah, aku berhenti
dan berada di baris paling depan. Beberapa detik kemudian, kendaraan roda dua
dan roda empat mulai bertumpuk-tumpuk di belakangku. Dari balik mobil yang
berada di pinggir trotoar muncul bocah kecil yang kira-kira berusia 8 tahun.
Kulitnya hitam kering, dengan kaos oblong abu-abu dan celana cokelat. Bekas
potongan celana yang dipotong sekenanya menggunakan gunting menimbulkan sisa
serabut-serabut benang. Matanya merah. Di pipinya tergambar aliran air dari
pelupuk matanya yang membekas hitam dan kering akibat debu jalanan. Sambil
menenteng sisa-sisa koran yang kira-kira berjumlah 3, ia menghampiri motorku.
Ia menengadahkan tangan.
‘Mbak minta uangnya, Mbak.’
Aku hanya melirik sedikit dengan
sombong dan acuh. Merasa diacuhkan, ia berlalu. Kemudian berpindah ke mobil
hitam di di belakangku. Ia menempelkan wajahnya ke kaca.
‘Pak minta uangnya, buat pulang. Saya
pengen pulang.’ Tangisnya
pecah. Ia menangis.
Hatiku terketuk hebat. Aku memandang
ke arahnya. Masih memandang dan tetap memandang. Waktu di traffic light tinggal
tersisa 10 detik. Aku perlu membuka ransel mengambil dompet dan mengulurkannya
padanya yang sudah berjarak 3 meter. Dan itu hanya sekedar angan. Waktu 10
detik tak cukup. Aku bergeming dan hanya bisa memandang ia kembali ke sisi
jalan. Ia menyeka air matanya. Orang-orang lain pun sama sepertiku, diam dan
acuh. Kecuali si pemilik mobil hitam tadi. Bocah kecil itu menggengam uang
kertas setelah si pemiliknya mengulurkan dari kaca mobil.
Herannya, aku terus saja melaju
mengikuti arus tanpa berbalik. Hanya, memandang dari kaca spion dengan seribu
penyesalan yang membuatku terpagut. Ada penyesalan luar biasa kenapa aku harus
membuang waktu sepuluh detikku. Ada perasaan bodoh kenapa aku mengacuhkannya
saat dia mendekatiku. Ada perasaan bersalah ketika aku tidak bisa berbagi
sedikit rezeki di malam lebaran Idul Adha ini. Ada perasaan iba ketika aku
teringat adik laki-lakiku yang hanya berbeda beberapa tahun dari bocah di
perempatan.
Aku merasa bersalah.
Sekarang di hari Idul Adha ini,
aku teringat terus bekas air matanya di pipi dan matanya yang memerah.
Apa yang sedang kau lakukan sekarang?
Apa kau bisa pulang seperti keinginanmu kemarin? Apa kau bisa bergembira dengan
baju koko dan menenteng sajadah bersama teman-teman seusiamu? Apa kamu bisa
menikmati potongan daging di piring nasimu hari ini?
Untuk kau, bocah kecil di traffic light Paragon
Semarang.
No comments:
Post a Comment