![]() |
Foto dari Kompasiana |
Cerita di suatu sore [4 Oktober 2015] di pelataran Citraland
Semarang
Dua bocah laki-laki kecil berkulit hitam-hitam (akibat
paparan matahari), setinggi bahuku, datang menghampiri ketika aku sedang duduk
di bangku luar.
"Mbak,
minta uangnya mbak, buat beli makan."
Ucapan itu adalah ucapan basi yang sudah sering kali didengar
sebagai jurus andalan mereka. Dan banyak logo-logo di pinggir jalan terpasang
tulisan 'Peduli tidak sama dengan memberi
uang'. Kebetulan tak ada makanan apa pun yang saya bawa untuk diberikan
pada mereka.
"Bapak, ibunya mana?"
"Ibu sudah meninggal, Mbak"
"Trus tinggal di mana?"
"Di deket Pasar Johar sama Bapak?"
"Punya kakak, adik?"
"Punya kakak, di sana juga Mbak."
"Sekolah nggak?" aku terus bertanya pada salah
seorang dari dua bocah itu walaupun aku mengetahui, matanya sudah mulai memelas
dan membendung air mata.
"Enggak mbak, nggak punya biaya."
Oke. Aku anggap itu jurus pengasihan bertubi-tubi untuk
membuatku terharu. Justru, aku tak bisa tak peduli. Ini tentang hati nurani. Bukan
himbauan-himbauan yang terpasang di pinggir jalan.
"Aku sekolah mbak, baru kelas satu." bocah satunya
berpakaian biru lusuh dengan bangga memamerkan bahwa ia setingkat lebih mujur
karena bisa bersekolah. "Dan ibuku belum meninggal." Ia tertawa lebar
tanpa mempedulikan temannya sudah bermuka pilu. Konyol.
Percakapan kecil kembali berlanjut sampai mereka berucap
terima kasih dan berlalu. Mereka kembali menghampiri satu persatu orang yang ada
dipelatarn Citraland Semarang. Tepat di atas Masjid Baiturrahman, matahari berwarna
orange perlahan tenggelam dan menyisakan gelap.
Mungkin kau terlahir sedikit tidak beruntung dari orang lain. Namun percayalah, di tiap harimu, akan selalu ada keberuntungan yang datang padamu.
No comments:
Post a Comment