Cerita Kala Hujan (Part 2)



            Mataku kembali terusik oleh hal-hal sederhana yang membuatku semakin mengagumi arti dari sebuah kesederhaan. Kesederhanaan itu indah. Kesederhanaan itu istimewa. Kita terlalu terpaku oleh model-model manekin yang terpampang hampir diseluruh jenis media. Semua mata pecinta dunia menyorotnya dan menjadikan itu sebagai gaya yang harus diikuti agar kita nampak ada. Salah. Sebenarnya bukan mengenai itu. Demikian hanya akan membuat kamu terlihat seperti barbie. Tapi sayang sekali, kita bukan bagian dari mereka.
            Yang berada didepan mataku saat ini bukanlah barbie yang biasa dijadikan pajangan atau untuk dibeli oleh mereka yang memiliki banyak rupiah. Ia seorang wanita paruh baya yang mungkin akan tenggelam diantara ribuan barbie dengan segala kemewahannya. Guratan-guratan perjuangan keras hidup nya tersirat dalam kulitnya yang terlihat hitam dan tak mulus lagi. Tubuhnya tak lagi tegak seperti model yang sedang berjalan dalam cat walk. Atau tak lagi sigap seperti polwan ketika sedang berbaris rapi. Tulang belakangnya mulai menyusut termakan usia. Bola mata indahnya sayu dan kembali terlihat polos dengan pandangan kosong ke arah hujan yang sedang berlangsung. Namun jelas sekali didalam pandangan itu memiliki kegelisahan. Dengan jilbab warna ping kecokelatan menutupi kepalanya dengan camping gunung untuk peneduhnya. Dia lah pejuang hidup. Lindungi ia Tuhan.
            Tangannya memainkan kain jarit penggendong kayu bakarnya yang sudah dilepasnya. Digulung-gulung, di ikat simpul ataupun di lipat rapi kemudian dibongkarnya kembali. Kayu bakar disampingnya tetap saja terciprat air walaupun sudah diteduhkan. Maklum saja, atap yang menaunginya hanya berukuran 2x1 saja. Ruko yang dibuatnya untuk berteduh itu tutup. Apa boleh buat.
            Aku mengandai. Bagaimana masa tua ku nanti?? Apakah aku bisa menikmati hangatnya rumah kala hujan datang seperti ini? Apakah aku tidur dengan nyaman dengan ranjang yang empuk? Apakah aku dikelilingi oleh orang-orang yang menyayangiku? Apakah aku bisa menikmati lagu-lagu kesukaan ku?
Dewa langit menjawab kegelisahan wanita paruh baya itu. Hujan berhenti. Namun tak benar-benar berhenti. Masih ada beberapa titik air yang jatuh. Wanita itu berdiri, kembali menggendong seinggit kayu bakar dengan jaritnya. Kemudian ia berlalu. Dan aku kembali ditinggalkan oleh mereka. Mereka yang mengusik pandangan ku saat hujan datang. Sedangkan aku masih disini terdiam. Apakah DIA yang ku puja juga akan pergi lain waktu??

3 comments:

Anonymous said...

wah dadi bu penulis saiki

Anonymous said...

Cerita ini cocok untuk dongeng sebelum tidur :D

Anonymous said...

hujan memang selalu meninggalkan jejak kenangan untuk mewarnai kumpulan kisah kita