Seperti Apa Hari Ini?



Aku terbangun ketika alarm handphoneku berdering dan menunjukkan pukul 5 pagi. Dengan malas aku pun beranjak dari pulau mimpiku. Aku segera bergegas untuk mengambil air wudhu. Di ufuk timur laut mulai terlihat semburat warna jingga terlukis di bagian langit yang masih terlihat gelap itu. Sebentar lagi fajar akan pergi. Ku percepat langkah kakiku, menuruni tangga yang licin karena terkena hujan semalam. Terima kasih untuk nikmat pagi ini Tuhan.

Aktivitas pertama yang ku kerjakan pagi ini sebagai anak kos yang rajin, yaitu mencuci. Pekerjaan itu mulai ku kerjakan ketika teman-teman satu atap denganku masih mengurung diri dalam kamarnya masing-masing. Mereka tengah bermanja-manja dengan selimut hangat mereka. Ah, kasihan sekali mereka melewatkan momen dimana Tuhan membangunkan aktivitas kerajaan-NYA.

Kucuran air kran membuatku bersemangat untuk membersihkan pakaianku yang sudah kotor. Mulutku berkomat-kamit melafalkan nyanyian dengan suara kecil. Itu masih pagi. Dan aku tak ingin membuat gaduh penghuni kos lain dengan suara yang membuat mereka akan menutup telinga nantinya. Ku akui, suaraku masuk golongan ke empat bila terdapat empat jenis golongan suara. Suara sangat bagus, bagus, sedang dan cukup. Itu artinya aku berada di golongan kasta terendah. Duh.

Menyanyi dengan menghimpit suara itu membuatku lelah. Ditambah otot-otot kecilku yang mulai berkurang energinya. Aku kembali terdiam dan tetap melanjutkan pekerjaan itu. Suasana kembali hening. Fikirku dibuat melayang-layang atas keadaan ini. Sampai akhirnya aku mempunyai topik yang bisa aku fikirkan sembari temaniku mencuci. Bagaimana aku menyelesaikan program Kerja Praktikku? Logika apa yang harus ku pakai untuk merevisi program permintaan dosenku? Harus meminta tolong kepada siapa lagi untuk membenarkan programku yang eror? Selain itu bagaimana aku harus menghadapi dosen pembimbing skripsi yang katanya paling menyeramkan di kampusku? Dan… ahhhh, terlalu banyak pertanyaan mengenai tugas-tugas kuliah berjejal diotakku. Untuk beberapa detik aku seperti kehilangan kesadaran. Keningku terasa terpentok ujung meja. Pelipis mataku terasa cenat-cenut. Ditambah punggungku seperti menahan berat satu kantung beras. Ku hentikan tanganku yang sedari tadi berkerja keras. Ku hirup nafas panjang lalu membuangnya. Ku lakukan sampai 5 kali. Ini cukup membuat tubuhku sedikit rileks. Ku buang jauh-jauh pikiran itu dan menenangkan diri. 

 Ku tahan air mata yang tiba-tiba menggenang di pelupuk mata. Aku tak ingin menangis. Aku wanita kuat. Aku sudah tak ingin lagi menangisi hal-hal semacam ini. Aku malu. Dan ini bukanlah hal yang harus ditangisi. Mau tak mau harus dihadapi. Aku beranjak, ku dekati cermin besar disamping tempat mencuci. Wajahku terlihat sangat lusuh dan mataku berkantung. Semangat ya? Ucapku sendiri pada bayangan dalam cermin.

Usai mencuci, aku mendapati pesan di handphone dari teman satu dosen pembimbing.
“Dil, cepat datang ke kampus. Ada info, Pak Indra bisa ditemuin jam 10.00.”
Bergegas aku mempersiapkan diri. Dengan waktu 30 menit aku sudah berhasil mendarat di kampus dengan nafas tersengal-sengal. Ku temui teman yang mengabarkan info itu padaku. Aku mendapat jawaban yang cukup membuatku menelan ludah.

“Aduh maaf Dil. Tadi setelah Sandra menelfon bapaknya, beliau ada rapat ternyata.”
Aku terduduk lesu. Ku tata kembali nafas ini agar kembali teratur. Ketika itu, seseorang didepan memanggil namaku dan melambaikan tangannya. Terlalu terburu-buru, sampai-sampai aku tak menyadari  ada Febian disana. Aku tersenyum memaksa. Bukan terpaksa dalam artian karena aku tak ingin tersenyum. Namun karna aku masih tak bisa bernafas dengan benar. Ahh. Kita berbincang sebentar lalu ku tinggalkan dia. Sebenarnya aku masih ingin berlama-lama dengannya. Tapi aku sudah punya agenda sendiri. Begitu juga dia.

Helli hitamku bergerak dengan cepat dan dengan pintar berbaris rapi di tempat parkir KM 0. Seorang petugas Benteng memberitahukan padaku bahwa benteng sudah tutup. Ah aku tak perduli. Karena bukan tempat itu yang ingin ku tuju. Aku menunjuk tempat di bawah pohon besar yang dikelilingi rumput-rumput hijau nan cantik. Awalnya petugas melarangku untuk kesana, karena itu bukan tempat wisata yang bisa dimasuki kecuali ada acara. Dia menanyaiku untuk apa dan dengan siapa aku akan disana. Akhirnya ku jelaskan.

“Saya butuh tempat yang tenang untuk mengerjakan skripsi. Dan saya sangat menyukai tempat itu. Saya datang sendiri dan tidak mengajak siapa-siapa. Ijinkan saya pak.”

Aku pasrah. Kalau diberikan ijin, pasti aku akan sangat senang dan kalau tidak terpaksa aku akan pulang dengan kecewa. Pastilah karena aku wanita maka dibedakan. Mungkin jika laki-laki, ia sudah kena marah olehnya. Petugas yang mirip sekali dengan dosen di kampus ku yang mengajar mata kuliah Pemrograman Web itu mengijinkanku. 

Dengan girang aku memasuki area tersebut. Aku memilih akar-akar pohon besar untuk tempatku duduk. Ku perhatikan sekelilingku dengan teliti. Aku tersenyum sumringah. Tubuhku bersandar pada pohon besar didepan mataku. Dalam dunia imajiku, aku sangat menginginkan hal seperti ini. Impian dari dulu dan baru kali ini terealisasikan. Aku berimaji, aku duduk dibawah pohon yang rindang, menikmati musik-musik kesukaanku sembari mengerjakan tugas-tugas kuliah misalnya dan menikmati sebatang cokelat kesukaanku. Aku sangat senang hari itu. Sungguh.

Ditengah hiruk pikuk kendaraan yang berlalu lalang dan orang-orang asing yang tak ku kenali, aku menikmati duniaku. Sendiri. Ya, dunia dalam imajiku. Pernah aku ceritakan tentang keinginan ini pada teman ku. Dia menertawaiku. Itu hanya keinginan yang sederhana bukan? Lalu dimana letak kesalahannya? Dan sekali lagi aku tak memperdulikannya.
 
“Tak perlu menunggu orang lain untuk mewujudkan mimpimu. Mimpimu ada digenggaman tangan mu sendiri. Dan kamu adalah aktor utama didalamnya.”

#NP : JKT 48 – Apakah Kau Melihat Senja?

1 comment:

Anonymous said...

smoga apa yang kau niatkan segera tersampaikan