#EkspedisiMerbabu Part 3

    


         Sampailah kami di padang rumput nan luas. Sabana 1. Tenda bermotif ABRI sudah tegak berdiri. Mantol-mantol jubah diikatkan diantara dua batang pohon untuk membantu menutupi tempat istirahat kami dari gangguan angin gunung. Matras-matras tertata mengelilingi api. Kita kelaparan. Sepertinya permainan masak-memasak akan dimulai. Hahaha. Hanya ada satu kompor kecil yang akan digunakan. Nasi yang merupakan makanan pokok menjadi resep pertama. Kali ini, koki diambil alih oleh para lelaki. Aku sebagai wanita hanya menunggu koki-koki itu menyelesaikan masakannya. Tak disangka nasi yang dikira sudah matang masih keras dan masih terasa beras. Ah benar-benar gagal para lelaki ini.
            “Airnya kurang ini. Tambah lagi.”  Kataku menggurui.
Kutuang sedikit air, mengaduk dan memasaknya kembali. Tak sampai 5 menit setelahnya, bau gosong mulai tercium. Kami berteriak serentak.
“Nasinya!! Angkat!!”
            Si koki sedikit kaget ketika membuka panci nasi. Okelah nasi tadi memang sedikit lebih matang. Tapi kali ini nasi benar-benar telah menjadi bubur. Dan itu masih terasa beras. Aku merasa gagal sebagai calon ibu. Oh tidak!! *Nyakar pohon*
            “Ummu disuruh masak nasi malah masak bubur. Ah payah.”
            Heii!!! Aku tertunduk.
            Aku mengundurkan diri dari meja dapur saja. Lebih baik aku duduk manis sambil menikmati bintang-bintang kecil dilangit. Disisi lain, kami mulai mencemaskan nasib tenda yang tak kunjung datang. Dan juga persediaan gas yang makin menipis.
“Oh teman cepat datanglah.“ Batin kami menjeri-jerit.
Hidangan siap. Kami yang memang sudah kelaparan menikmati hidangan seadanya ala pendaki. Sekejap piring-piring kami kosong. Waow. Ghaib sekali. Ku elus-elus perut yang terasa membuncit ini. Pelan-pelan kubisikkan suara kecil “Perut, baik-baik ya. Tadi nasinya belum matang soalnya.”
Dingin semakin menusuk. Ranting-ranting pohon melambai menggoda mataku. Semakin mengantuk saja aku dibuatnya. Mungkin teman-teman juga begitu.
“Hahaha. Aku curiga.” Celetuk mas pensil tumpul.
“Sama, aku juga begitu. Hahahaha.” Balas mas Tholo.
Aku diam-diam menguping. Tertawa mereka sangat mencurigakan melebihi kecurigaan mereka berdua. Disini aku menduduki kecurigaan tertinggi. Tapi sudahlah, tak kuucap apa yang mengganjal dihati. Batin mereka kuat sekali. Rupanya mereka mulai mengantuk. Begitu juga dengan ku. Mereka menyuruhku dan Anjar untuk masuk ke tenda biar tak kedinginan. Aku tau merekapun juga begitu. Kedinginan.
“Paling Hanif tak jadi naik. Aku yakin itu. Ini sudah mulai larut. Kalaupun naik, pasti sudah sampai.” Curhat mas Sipit.
“Lucu sekali kalau kita tidur diluar sini ya? Hahaha.” Mas Tholo tertawa memaksa.
“Dari kemarin berebut tak ada yang mau bawa tenda. Giliran seperti sekarang baru pada nyesel.” Mas pensil tumpul menengahi. “Udah sana yang cewek masuk tenda aja. Dingin.”
Aku tak enak hati. Kasian sekali mereka yang sudah berat-berat menggendong tenda tapi malah ditempatin orang lain. Tapi kupikir tak logis juga kalau wanita yang berkorban diluar. Oke kali ini aku mengabaikan perasaan bersalahku. Aku menghangatkan diri dalam tenda. Melapisi jaketku dengan mantol. Kemudain menambahnya dengan sleepingbag. Bahkan dengan berdandan ala buntelan lontong, aku masih merasakan dingin yang sangat. Apalagi mereka yang berada diluar tanpa tenda. Kupejamkan mata dengan paksa. Aku mengantuk namun tak bisa bermain-main dialam bawah sadar. Sepanjang malam telingaku tetap terjaga. Sepertinya ada rombongan yang datang sudah larut. Mereka mendirikan tenda disamping tendaku. Aku masih belum bisa beradaptasi dengan dingin yang sedang menyerang ini. Kulirik jam tangan waktu menunjukkan pukul 2. Setelahnya barulah aku tak sadarkan diri larut bersama malam dan diiringi suara-suara ribut diluar. Abaikan.
Sepertinya aku tak terlelap begitu lama. Namun ketika terbangun, jam baru menunjukkan pukul 3. Kita harus segera bersiap-siap menyusuri gelapnya pagi untuk menuju puncak. Jarak dari tenda sampai puncak kira-kira memakan 1 jam 30 menit. Setengah jam kami mempersiapkan keberangkatan. Pukul setengah 4 pagi, cerita perjalanan kami dimulai kembali. Kepulan asap-asap yang ditinggalkan oleh pemilik, bara api yang terlihat masih membara, kerlap-kerlip jutaan bintang dilangit serta lampu-lampu jalanan kota terlihat seperti untaian benang yang saling tersambung, sedangkan pemandangan pagi disabana gelap diselimuti dingin yang menusuk. Terlihat titik-titik cahaya yang berjalan. Mereka mendekat ada pula yang menjauh pergi. Seperti kunang-kunang berterbangan mencari sekuncup madu ditengah kemarau.
Lereng bukit begitu menyeramkan ditengah gelap seperti ini. Curam. Berdiri tegak sejenak membuatku hampir oleng tertiup angin. Aku perlu pemberat. Aku benci mendaki ditengah gelap. Aku tak leluasa untuk bernafas. Dadaku sesak terisi karbondioksida. Udara begitu pengap. Berkali-kali langkahku harus terhenti untuk mengatur nafas. Tenggorokanku kering. Seteguk air terlihat seperti oasis dipadang pasir bagiku. Aku tak memperdulikan semua lelahku. Hanya ada satu diotak ini. Berjuanglah sampai tiba dipuncak. Saat itu aku merasa menjadi seorang pemenang.
Perjalanan kami tak sia-sia. Mega merah mulai terpancar dari ufuk timur. Setibanya diatas, kami tak lupa melaksanakan sholat subuh terlebih dahulu. Diatas sini mukenaku berkibar tertiup angin. Sujudku terasa begitu berbeda dari hari biasanya. Aku mencium nafas-nafas keagungan Tuhan yang begitu luar biasa. Maha Besar Allah dengan segala ciptaan-Nya. Allohuakbar. Aku hanyalah seonggok daging yang sangat kecil. Nafas yang aku punya bisa dengan mudah tiba-tiba terhenti. Aku adalah titik dari milyaran titik yang terlahir didunia ini. Bahkan aku bukanlah apa-apa. Tuhan, ampunilah segala dosaku. Ijinkan aku menghirup nafas segar sampai waktuku datang.
Detik-detik momen langka ini akan segera muncul. Hitungan 3 kebelakang akan membuka show pagi ini. Tiga, dua, satu, dan……………. Inilah BONUS dari sebuah perjalanan panjang yang dicapai dengan kegigihan. Semua mata menatap dan mengabadikannya. Para pemburu sunrise, ambilah ini sebagai hadiah dari Tuhan. Bawalah pulang sebagai kenangan yang tak akan pernah mati. Aku benar-benar takjub berada diatas ini. Ini luar biasa. Dari atas sini aku bisa melihat banyak hal. Rumah-rumah terlihat sangat kecil dan tak berdaya. Diselah utara tampahlah merapi sedang berdiri kokoh. Sedikit kepulan asap keluar dari bagian tengah gunung. Terima kasih untuk pagi yang sangat indah ini.




Setelah puas berfoto-foto kami segera menuruni bukit kembali. 




Matahari mulai terik dan menyengat. Bahagia sekali wajah-wajah kami (para pemburu sunrise). Langkah kaki kami terasa ringan sekali. Pipi kami merona. Berwarna ping. Haha. Itu karena kepanasan. Dikanan kiri jalan terlihat bunga-bunga abadi menambah kecantikan pagi ini. Aku menyentuhnya. Ini lah bunga yang dielu-elukan oleh banyak orang. Bunga yang tak akan pernah mati.



Perjalanan pulang kami tak terlalu beruntung. Kabut-kabut tipis mulai menyelimuti. Kini langit biru sudah tertutup awan kelabu. Matahari kembali bersembunyi. Grimis mulai menyapa kami. 




Kami dengan siaga memasang mantol-mantol untuk perlindungan. Hujan tak menghentikan langkah kami. Kami terus berjalan ditengah guyuran gerimis. Hujan membuat tanah semakin licin. Licin sekali. Terpaksa kami harus kembali jatuh bangun, terpeleset dan bahkan sengaja untuk meluncur untuk menuruninya. Ah kami tak tahu lagi seperti apa rupa dan penampilan kami. Dengan tas ransel yang masih bertengger dipunggung dengan balutan mantol-mantol. Alien. Ya aku menemukan alien ditengah gunung. Dan bahkan aku sendiri sudah menjadi bagian dari mereka. Tubuhku belepotan terkena lumpur. Adonan cokelat itu melumuri kami seperti udang yang siap untuk digoreng.
Aku menyukai pertemanan disepanjang perjalanan ini. Walaupun kami tak saling mengenal, mereka tanpa segan membantu dan saling melempar senyum semangat. Atau kami lebih mirip terlihat seperti koloni semut yang sedang berjalan didinding. Saling menyapa salam bila berpapasan. Sungguh. Sangat mirip.
Lintasan-lintasan ekstrim yang dilewati membuat kakiku sedikit cedera. Jari kaki kelingking dan jari manis mulai melepuh. Itu berlaku untuk dua kaki. Itu karena aku salah memakai sepatu. Nah teman-teman, ini bisa menjadi pelajaran buat kalian. Gunakan sepatu yang nyaman yang memang direkomendasikan untuk kegiatan outdoor. Bagian kakiku mulai terasa pegal, kram dan berat sekali untuk diangkat. Punggungku terasa keropos menopang beban berat. Yang membuat jalanku sedikit tersendat-sendat yaitu pada bagian lutut. Lututku ngilu sekali. Itu membuat aku harus bertumpu pada tongkat atau berpegangan pada pohon atau semak-semak. Jalan kami semakin lambat karena kakiku.
“Ada apa dengan kakimu?” Tanya Anjar.
“Tak apa. Hanya mulai terasa pegal-pegal.” Jawabku.
“Sedikit lagi kita sampai. Tetap semangat.”
Badanku mulai terasa meriang. Aku tak ingin mengacaukan semangat mereka. Perlahan tapi pasti, akhirnya sampailah kami digerbang awal pendakian. Aku jadi teringat akan skripsiku. Kasusnya hampir sama dengan melakukan pendakian. Bila kita tetap semangat, fokus dan tak menyerah kita akan mencapai apa yang diinginkan walaupun pelan. Sedikit-sedikit kita akan mencapai bukit. Oh skripsiku. Aku harus mendakimu dengan tekad membara seperti itu agar aku bisa menahlukkanmu. Semangat ya :D


Terima kasih merbabu untuk cerita yang kau berikan.


4 comments:

Erry Satya Panunggal said...

"Aku adalah titik dari milyaran titik yang terlahir didunia ini"
Paling suka sama frase kalimat ini. Keep posting cerita2 yang menginspirasi mbak

tulisanummu.blogspot.com said...

Iyaa. Maksih kunjungannya...

Propeliena said...

huhuhu kereeen mb ummu :) love it dah pkoknya >_<
kapan2 ayook muncak bareng xixixixi

tulisanummu.blogspot.com said...

Propeliena : kamu suka naik gunung jg denger2. Boleh2. Tgl 31 juli ada next trip mau ke semeru lo. Tapi aku blm tau pasti ikut atau enggak >.<