SADARKU




Di mana aku menemukan rumah, di situ,lah, aku akan kembali.

            Aku terlampau bahagia dengan apa yang aku miliki sekarang. Keluarga utuh yang begitu menyayangiku dan harta bapak yang melimpah sebagai juragan sapi tersohor serta memiliki ladang luas berhektar-hektar di desa kami. Aku tak perlu terburu-buru untuk mendapatkan pekerjaan selepas lulus bersekolah SMA nanti. Karena orangtuaku masih akan memberi uang padaku, berapa, pun. kuminta. Mungkin aku sedikit menjadi sombong sekarang ini. Dan aku bahkan berencana akan meneruskan sekolah hingga tingkat perguruan tinggi.
Tingkatan sekolah yang tak banyak dirasakan oleh anak-anak di kampungku. Kebanyakan dari mereka hanya lulusan SD atau bahkan SMP. Selepas itu, mereka lebih memilih untuk berkeluarga.
“Wanita tak perlu bersekolah tinggi-tinggi. Toh, nanti yang akan ia kerjakan hanya mengurus anak dan rumah.” Pendapat turun menurun yang entah siapa pembuatnya.
Namun, nenek moyang tak bisa disalahkan begitu saja. Di zaman penjajahan dulu, wanita memang tidak diperbolehkan untuk mengenyam pendidikan. Tapi berkat kegigihan Raden Adjeng Kartini yang membuat gerakan emansipasi wanita, membuat argumen itu perlahan lengser. Herannya, masih saja banyak warga kolot yang tidak menanggalkan asumsi tersebut.
Melihat bapak dan ibu selalu harmonis, membuatku merasa menjadi orang paling sempurna di dunia ini. Dan kedua adikku tercinta yang masih duduk di bangku SMP dan SD, mereka begitu manja padaku, Jamal dan Wati. Kami semua hidup damai di sebuah desa di Dataran Tinggi Dieng. Cuaca memang dingin, terlebih ketika malam hari. Namun cinta yang ada dalam rumah ini menghalau semua hawa dingin tersebut dan menjadikannya hangat.
“Tih, Ratih…”Setengah berteriak ibu membangunku yang masih terlelap tidur di ranjang yang empuk.
Aku hanya mendongak dan mengucek-ngucek mata. Aku tak menyahut dan berharap ibu tak memanggilku lagi sehingga aku bisa meneruskan tidur.
“Sudah siang ini lho nduk, bangun! Mau jadi apa wanita kok bangun siang-siang.” Ternyata ibu masih saja berusaha membangunkanku.  La wong ayam saja sudah ribut di luar kok ya kamu masih malas-malasan gini to. Subuh hampir pergi. Sembahyang dulu.”
“Iya, Bu’e. Ratih segera bangun.” Dengan sangat terpaksa aku keluar dari sarangku. Melipat selimut, merapikan tempat tidur, dan beranjak ke kamar mandi. Aku harus pasrah setiap hari dengan guyuran air sedingin es ini.
“Kalau sudah selesai sembahyang, bantu Bu’e menggoreng pisang ya?”
Aku tak menyahut. Aku khusuk dengan sembahyangku. Selesai, aku segera menghampiri ibu di dapur.
“Bu’e nggak lupa to, hari ini hari apa?”
“Iya nduk, Bu’e nggak lupa. Kamu goreng pisang dulu, Bu’e mau siapain kado sama kue. Mumpung Pak’e lagi ke sawah. Jamal dan Wati biar Bu’e saja yang bangunkan.”
Seharusnya aku yang membangunkan mereka sesuai urutan. Ibu akan membangunkanku kemudian aku akan estafet membangunkan adik-adikku. Begitulah jadwal pagiku.
Seperti biasa, pagi buta bapak sudah akan mengunjungi sawah. Ia akan mengecek saluran air yang akan di gunakan untuk menyirami tanaman mereka. Dua hari sekali mereka akan mendapat jatah untuk menyiram tanaman mereka. Secara bergiliran mengingat tidak ada irigasi kecuali saluran air melalui paralon atau selang-selang yang di alirkannya dari mata air.
Semua persiapan untuk perayaan ulang tahun bapak sudah siap di meja makan. Kami hanya tinggal menunggunya pulang. Aku dan kedua adikku sudah menyiapkan kado istimewa untuknya. Begitu juga dengan ibu. Kami membuat pesta kecil pagi ini lebih meriah dibandingkan tahun lalu. Bapak pasti akan senang. Sembari menunggu bapak, kami tersenyum mengandai pasti bapak akan terkejut mendapatkan hadiah pagi ini. Karena sebelum pagi ini, kami semua bersengkongkol membuat bapak marah pada kami. Wati terus mengintai kedatangan bapak dengan menghadangnya di dekat jendela. Kalau-kalau bapak datang ia akan segera memberitahukan pada kami untuk bersiap.
Ini pasti akan menjadi kejutan paling spesial untuk Pak’e.
Di tengah kebahagiaan ini, tiba-tiba aku mendengar gemuruh suara yang begitu lantang memekik telinga. Aku terpaksa harus menutup telinga agar suara gelegar itu tak sampai membuat gendang telingaku pecah. Tak hanya itu, bahkan kurasakan tetes-tetesan air mulai membasahi wajahku. Tak terasa tanganku kembali bergerak untuk menyingkirkan air dari wajahku.
Kini aku tersadar. Telingaku sayup-sayup mulai mengkondisikan suasana, perlahan mataku terbuka. Walaupun masih setengah sadar, kurasa aku mulai siuman. Aku mendapati diriku tengah tertidur meringkuk di atas tumpukan kardus yang menjadi pelindungku saat tidur. Rumah kardusku basah akibat hujan deras di luar. Aku hanya bisa menghela napas panjang ketika aku bangun.

Di dalam mimpi terlalu manis. Di dalam mimpi, hidupku begitu sempurna. Bolehkah aku tetap hidup dalam mimpiku? Aku tak ingin bangun dari mimpiku semalam.


No comments: