Cita-Cita Sederhana Supardi


Tangannya terus mengayunkan cangkul, walau terik matahari sedang menganga membakar bumi, tepat di atas ubun-ubun. Sesekali tangannya berhenti untuk mengelap peluh yang menetes membanjiri wajah. Caping yang dipakainya tak cukup mampu melindunginya. Supardi, namanya. Lelaki yang begitu giat bekerja ini, tak kenal menyerah. Ia mau disuruh bekerja apa pun yang disuruh orang. Tetangga-tetangga rumahnya biasa menyuruh untuk bekerja di ladang, kebun, ataupun memanjat pohon kelapa untuk mengambil kelapa. Tubuhnya memang kurus kering, kulitnya hitam karena sering terpapar panas. Tapi Supardi, tetap Supardi yang giat bekerja.
Ia ingin mengumpulkan uang banyak, katanya. Ia ingin berumah tangga dan memiliki anak. Cita-cita yang sederhana bukan? Kedua orangtuanya yang tak lagi muda, tak cukup memiliki banyak uang. Terlebih si emak hanya seorang buruh tani dan tukang cuci baju. Bapaknya tak kalah miris. Bapaknya sudah linglung. Bahkan penyakit linglungnya membuat dirinya terlihat seperti bocah yang mengalami kelainan mental. Setiap pagi, setelah mandi, bapaknya akan duduk di teras rumah, sambil memandang kosong ke arah anak-anak ayam yang melewatinya. Rambutnya klimis dengan minyak kemiri dan bersempong pinggir. Sangat rapi. Dia telah linglung. Bahkan tak mengenali siapa-siapa yang dulu dikenalinya.

Supardi belum juga istirahat padahal ia sudah tak memiliki bayangan tubuh. Nanggung. Sepetak ladang yang ia garap, sebentar lagi rampung di cangkulnya. Sebelum sepetak ladang itu selesai, azan sudah berkumandang. Supardi menghentikan cangkulannya. Ia beranjak dan duduk di bawah pohon kelapa. Di bawah pohon kelapa, redup. Anginnya semilir. Ia menyandarkan tubuhnya pada pohon kelapa yang melengkung membentuk huruf J. Seteguk air putih yang dibawanya mampu membasahi kerongkongannya. Ia bergeming. Membatu dengan ratusan angan yang menari-nari di atas kepalanya.
“Kang Pardi, kau tak pulang?” tiba-tiba terdengar suara. Rekannya sesama buruh tani sudah berdiri di samping kang Pardi, membubarkan lamunannya. Supardi hanya mendongak. “Jangan bermimpi di siang bolong, Kang. Bedhug, banyak setan berkeliaran. Pulang dan bersembahyang lah. Berdoa pada Gusti Allah semoga cepat diberikan jodoh.” Temannya sesama buruh tani berlalu sambil terkekeh menang.
Supardi menggerutu dalam hati. Perkataan temannya membuat suasana semakin panas dan hampir mendidih. Supardi menghela napas panjang.
“Lihat saja kau, Yon. Nanti aku akan kawin dan mempunyai anak. Tunggu saja!” Supardi bersungut penuh amarah.
Bagi Supardi, hidup dalam mimpi itu lebih indah ketika kenyataan tak bisa menjawab keinginannya. Di dalam mimpi, Supardi bebas berangan tanpa harus menghadapi apa yang disebut kegagalan. Dirinya di dalam mimpi terlihat begitu sempurna. Paling sempurna dari orang lain. Ah, sungguh Supardi si pemimpi.
“Kang Pardi, Kang! Kau harus pulang sekarang.” Dari jauh terdengar Wati, tetangganya, memanggil-manggil Supardi sambil melambaikan tangan. Wajahnya pasi.
“Ada apa Wat? Kenapa?” Supardi tak kalah pasi melihat tabiat Wati yang tidak beres.
“Bapakmu, Kang. Bapakmu sudah tidak bernapas lagi.”
Raut wajah Supardi hendak runtuh. Sontak, Supardi berlari kencang meninggalkan Wati. Cangkul dan capingnya tak dihiraukan. Terlupa begitu saja. Beberapa kali Supardi terpeleset ketika berlari di sepanjang galengan ladang. Tubuhnya kembali dipenuhi lumpur ketika dirinya jatuh. Supardi tidak peduli dan terus saja berlari.

Sampainya di rumah, rumah sudah dipenuhi banyak orang. Tetangga berdatangan untuk menjenguk kondisi tubuh yang sudah menjadi mayit itu. Supardi menyingkirkan orang-orang yang memadati rumahnya. Beberapa orang terlihat berlumpur setelah tersenggol Supardi.
“Bapaaak!!” Supardi menjerit histeris. Ia menggoyang-goyangkan tubuh yang sudah kehilangan nyawa itu. Terus menggoyang-goyangkan, berharap beliau akan bangun lagi.
Emaknya merangkul Supardi yang masih belepotan lumpur. Anak dan emak yang sedang berpelukan dalam tangis itu membuat nelangsa orang-orang yang menontonnya. Baru saja Supardi bermimpi indah di ladang, di bawah pohon kelapa. Tapi kini Supardi harus menahan kenyataan pahit bahwa bapaknya sudah diambil napasnya oleh Gusti Allah. Tubuh tua itu terbaring kaku ditinggalkan ruh-nya.
            Bersedih terlalu larut hanya akan membuat bapaknya susah di alam kubur. Setelah dikuburkan, Supardi dan emaknya pulang dengan wajah sembab. Air matanya sudah tak mengalir lagi. Mereka ikhlas ditinggalkan. Air mata tak akan bisa mengembalikan senyum bapaknya. Hanya kiriman doa dari anak sholeh yang akan menemani bapaknya di alam sana. Hanya doa yang mampu mengurangi siksa kubur dan memberikan penerangan. Keluarga Supardi berduka. Tapi tak akan berduka sampai berlarut.
           
            Seminggu setelah kepergian bapaknya, Supardi tak ingin lagi berkabung. Supardi harus kembali melanjutkan mimpinya. Bukan mimpi dalam dunia imajinasinya, namun, mimpi dalam dunia nyata. Supardi kembali turun ke ladang. Supardi kembali bergelut dengan matahari dan lumpur. Ya, Supardi tetaplah Supardi yang giat bekerja untuk membiayai perkawinannya, nanti. Emaknya pun kembali menjadi buruh tani dan tukang cuci. Bahkan mereka sudah kembali tersenyum. “Tak ada gunanya bersedih”. Emak selalu menasehati Supardi.
            Soal wanita, Supardi sudah berusaha berkali-kali untuk memikat hati gadis-gadis desanya ataupun desa sebelah. Namun belum membuahkan hasil. Ia berkeyakinan, bahwa Gusti Allah akan memberikan yang terbaik untuk dirinya. Sekarang yang bisa Supardi lakukan hanya berusaha dan berdoa. Orang-orang desanya, menyebut dirinya bujang lapuk. Bujang lapuk adalah istilah untuk orang yang sudah waktunya kawin namun belum juga kawin. Umurnya semakin menua namun belum memiliki pendamping hidup. Pasrah. Supardi sudah pasrah.
           
            Seperti biasa, Supardi bersama teman bujang lapuk, sering menyempatkan untuk menyore di pos kamling. Entah untuk menghitung berapa gadis-gadis yang melewatinya atau untuk saling bercerita tentang gadis yang sedang didekatinya. Ah, obrolan lelaki. Obrolan mereka terhenti manakala azan musala yang berseberangan persis dengan pos kamling, berkumandang. Mereka membubarkan diri untuk sembahyang.

            Waktu berputar begitu cepat sampai Supardi lupa bahwa hampir seratus hari sudah ia ditinggalkan bapaknya. Wali yang akan mengawinkannya di depan penghulu dan di depan orang-orang, kini sudah di menyatu dengan tanah.
            Pagi hari, waktu yang tepat untuk kembali melakukan rutinitas seperti biasa. Jam dinding yang menempel di dinding kayu rumahnya sudah menunjukkan pukul delapan. Tetapi Supardi belum juga beranjak dari tempat tidurnya. Berkali-kali emak membangunkan Supardi agar segera bergegas mencari rezeki. Supardi bergeming. Supardi tak menyahut. Emak membuka pintu kamar Supardi dan mendapati Supardi masih meringkuk di bawah sarung.
“Bagaimana kau akan segera kawin kalau jam segini belum juga bangun. Nanti rezekimu dipatok ayam.”
“Mak, badanku meriang,” Supardi menjawab. Rupanya ia tidak sedang tidur. “Aku butuh istirahat Mak.”
“Kau sakit?” emak menyentuh kening Supardi. Panas. Tubuhnya sangat panas. Wajahnya pucat. Badannya menggigil. “Kau meriang Pardi. Emak akan membelikanmu obat warung untukmu.” Supardi diam.
Sekembalinya emak dari warung, emak menyuapi Supardi dengan nasi sebelum Supardi meminum obat. Tiga suap nasi masuk dalam perut Supardi dengan sangat terpaksa melewati kerongkongannya.
“Minumlah obatnya. Kemudian tidurlah.”
Obat tak membuat tubuhnya membaik. Ia memuntahkan makanan yang baru di makannya, beserta pil yang masih berbentuk butiran. Dengan sabar, emak membersihkan kotoran Supardi. Kemudian kembali meminumkan obat. Kali ini, Supardi tak lagi muntah.
“Kau tidurlah Pardi.”
“Ya, Mak.” Supardi tidur.
            Menjelang azan dzuhur, tubuhnya tak sepanas tadi pagi. Wajahnya mulai memerah. Suhu tubuhnya hampir mendekati normal. Untuk menjaga anaknya, emak tak bekerja hari ini. Hati emak mulai adem. Tapi tak berselang lama, pukul dua, emak mendapati anaknya kejang-kejang. Matanya melotot ke atas, tangannya mencengkeram kuat seprei tidurnya. Emak takut, maka ia memanggil tetangganya. Dua orang tetangganya datang. Membacakannya doa sembari mengusap wajahnya dengan air. Perlahan tubuh Supardi lemas. Tangannya tak lagi kaku mencengkeram seprei tidurnya. Matanya pun tak lagi melotot.
            Tubuhnya perlahan diam, kemudian dingin. Kakinya dingin namun lehernya masih hangat. Tak berselang lama, seluruh tubuhnya dingin dan pucat. Matanya menutup. Hening. Emak mengira Supardi sudah sembuh dari kejang. Ia tidur. Namun ada yang ganjil. Jantungnya tak lagi berdetak. Nadinya juga tak lagi berdenyut. Emak dan dua tetangganya saling berpandangan. Dibukanya kancing baju Supardi, dadanya membiru. Emak berteriak histeris, lalu tak sadarkan diri.

No comments: