Surti V.S Munaroh




Keduanya serupa tapi tak sama. Sama-sama cantik, sama-sama kembang desa, tetapi tidak pada watak kepribadian mereka. Surti dan Munaroh namanya. Mereka bukan saudara kembar, bahkan mereka tidak memiliki hubungan darah pun. Keduanya hanya bertetangga. Rumah mereka berhadapan namun terpisahkan oleh jalan yang cukup untuk dilewati oleh sebuah mobil. Rumah Munaroh redup oleh pohon rambutan yang tepat berdiri di samping rumahnya. Pohonnya besar dan tinggi. Sewaktu pohon rambutan itu belum setinggi sekarang, Surti dan Munaroh biasa bermain bersama di bawah pohon rambutan itu. Saat berbuah lebat, mereka akan berlomba memetik buah bersama pasukan alit, teman mereka lainnya. Sekarang, pohon itu sudah terlalu tinggi untuk dipanjat.
Di desa, belum ada penyetaraan gender. Tak ada wanita dewasa yang memanjat pohon.  Itu pekerjaan untuk laki-laki. Pohon rambutan itu tak lagi menjadi teman Surti dan Munaroh. Kini, mereka sudah tumbuh dewasa. Sudah menjadi gadis. Rumahnya yang berdekatan, sekolahnya yang selalu sama, membuat mereka mau tak mau sering menghabiskan waktu bersama.
Untuk menuju sekolahnya, mereka harus melewati resmil. Resmil itu selalu ramai oleh para pekerja ataupun orang-orang yang akan menyelep beras hasil tanduran warga. Para pekerja yang terdiri dari para laki-laki sering menggoda Surti dan Munaroh ketika melewati resmil. Menjadi kembang desa, banyak lelaki yang suka melirik, saat mereka lewat.
“Suit…suit…” Lelaki pekerja resmil memonyongkan mulutnya untuk membuat suara seperti peluit.
“Hei, cantik. Sini mampir, temani Akang saja. Untuk apa kalian sekolah tinggi-tinggi. Toh, nanti akan menjadi seorang istri yang kerjaannya di dapur.”
Munaroh yang memiliki watak pemalu dan pendiam hanya diam saja mendapati ledekan dari orang-orang pekerja resmil. Tapi tidak dengan Surti. Surti melototi mereka. Bola matanya tajam seperti akan meloncat keluar. Kedua tangannya malangkedek.
“Diam, kau! Dasar kau laki-laki buaya. Aku bersekolah agar aku jadi pandai, tidak seperti kalian. Dasar bodoh!” kata-katanya begitu pedas untuk didengar.
“Jangan galak-galak. Kau masih terlalu belia untuk melawan kami.”
“Aku tidak takut!”
Surti kehilangan kesabaran. Ini bukan pertama kalinya mereka digodai oleh laki-laki pekerja resmil. Surti merasa harga dirinya diinjak-injak sebagai wanita. Apakah wanita tidak boleh bersekolah? Apakah wanita tidak boleh lebih pintar dari laki-laki? Emansipasi wanita belum sepenuhnya bisa ditegakkan di kampung Dukuh ini.
“Ah, sudahlah. Jangan kau godai anak-anak yang mau bersekolah ini. Kita seharusnya malu pada mereka!” kang Asep salah satu pekerja resmil menengahi. “Kalau mereka pintar, mereka bisa memajukan desa kita ini.” Kang Asep membela Surti dan Munaroh.
Ya, kang Asep berbeda dengan pekerja resmil lainnya. Tidak bermata genit seperti laki-laki lainnya. Pribadinya baik.
“Jangan sok suci kau, Sep. Kita sama-sama lelaki. Aku tahu apa keinginan laki-laki saat melihat gadis cantik seperti mereka.” Salah satu pekerja lainnya merasa tersinggung dengan pembelaan Asep.
“Kang, Wawan! Kang Wawan harusnya tahu. Mereka masih terlalu kecil untuk kau godai. Ingat istri dan anakmu, Kang.”
“Ah, sudahlah kau, Sep. Kau ini lelaki takut wanita, kan? Maka dari itu kau tak punya wanita.”
 Tangan kang Asep mengepal. Wajahnya memerah seperti hendak memuntahkan amarahnya. Namun, kemudian kang Asep menghembuskan nafas panjang. Tangannya tak lagi mengepal. Wajahnya merahnya memudar.
“Ini masih terlalu pagi untuk berkelahi. Kita lanjut saja bekerja. Nanti juragan marah.” Nada bicara kang Asep masih saja halus. “Surti, Munaroh. Kalian lanjutlah ke sekolah. Jangan hiraukan ocehan lelaki tengil ini.”
“Ya, Kang. Suwun.” Surti dan Munaroh undur diri.
“Kau mengenal mereka, Sep?” sergah Wawan.
“Satu dari mereka adalah keponakanku, Wan. Dan salah satu dari mereka adalah  sedulur dari juragan Jarwo.”
“Kenapa kau tak pernah bilang? Mereka hampir selalu kami godai hampir setiap mereka lewat.”
“Ya. Aku mengetahui itu. Dan kali ini kalian sudah keterlaluan menggodai keponakanku. Kalian tak pernah bertanya, jadi untuk apa aku bilang?”
“Aku tak tahu. Pantas kau begitu marah. Kami minta maaf.”
“Jangan kau ulangi lagi. Bukan pada mereka saja. Tapi kepada setiap wanita. Mereka tak pantas diperlakukan seperti itu.”
“Ah, ya. Sudahlah, Sep. Jangan kau menceramahi kami. Kita tidak sedang kenduri, tapi bekerja.”
Keributan pagi itu terhenti, walau dimasing-masing raut wajah mereka masih nampak kekecewaan. Asep masih memiliki kerabat dengan juragannya. Asep diberi wewenang lebih, untuk bertanggung jawab ketika resmil sedang ditinggal sang juragan. Semua pekerja mau tak mau menurut padanya.
Semenjak keributan pagi hari di resmil, tak ada lagi suara siulan ketika Surti dan Munaroh lewat. Melirik pun tidak. Sepertinya mereka takut dengan Asep. Atau lebih tepatnya takut kalau si Asep akan melapor kepada juragannya yang juga masih bersaudara dengan salah satu di antara Surti dan Munaroh. Takut kehilangan pekerjaan.


Pohon rambutan di samping rumah Munaroh masih menjadi teman mereka. Selepas pulang sekolah, mereka, Surti dan Munaroh sering menghabiskan waktu di bawah pohon rambutan untuk membaca buku. Di bawah pohon rambutan mimpi-mimpi kecil mereka tercipta. Mimpi seorang bocah cilik dengan segala khayalannya yang tanpa batas. Tak berbingkai. Mimpi kuat mereka begitu mencuat-cuat untuk membangun kampung Dukuh tertinggal ini untuk dijadikan desa maju.
***
“Kau kenapa, Munaroh? Seperti ada yang tidak beres dengan dirimu. Dari kemarin, kulihat kau sering melamun kemudian tersenyum malu. Apa kau kesambet Ratu Minakjingga?” sergah Surti yang semakin bingung dengan sikap Munaroh akhir-akhir ini.
“Ah, kau ini, Surti. Tidak, tidak, aku hanya sedang memikirkan sesuatu.”
“Aku tahu. Aku tahu gelagat yang sedang terjadi padamu ini.”
“Selalu saja kau merasa lebih tahu dari orang lain.” Munaroh mengelak.
“Tapi kali ini aku benar-benar tahu. Kita berteman sejak kita masih jadi anak ingusan, bahkan sampai sekarang. Kau tak pernah seperti ini sebelumnya. Jadi, lelaki mana yang sedang kau taksir? Aku penasaran seperti apa tipe lelaki yang telah membuatmu terpikat.”
Munaroh masih diam. Ia terlihat sedang memutar-mutar otaknya untuk menjawab pertanyaan Surti yang terdengar membuatnya seperti berpijak pada tanduk kerbau. Entahlah, untuk semua hal, mereka saling terbuka dan saling tahu rahasia masing-masing yang tidak orang lain ketahui. Untuk urusan asmara, Munaroh cenderung tertutup. Berkali-kali Surti bercerita panjang mengenai lelaki mana saja yang pernah membuatnya terpikat, namun Munaroh hanya menjadi pendengar setia dan tersenyum untuk menanggapinya.
“Kau selalu saja diam. Ah. Tapi tidak mengapa, Munaroh. Setidaknya kau sudah menjadi pendengar yang baik. Beban hatiku sedikit berkurang. Hahaha.” Lalu Surti tertawa garang. Dan mungkin, bayi pun akan langsung menangis mendengarnya. Entah apa maksudnya.
Sesering apa pun Surti menceritakan laki-laki ini itu, tetap saja akan selalu berakhir tragis. Surti selalu gagal untuk mendapatkan tambatan hatinya. Tak seorang lelaki pun berhasil jatuh ke hatinya.

“Kau tak mau menceritakan padaku? Padahal aku selalu mengatakannya padamu, walaupun kau sama sekali tak memberikan tanggapan.” Surti melempar tatapan tajam ke arah Munaroh.
“Aku masih malu untuk mengatakan pada orang lain. Ini pertama kalinya aku jatuh cinta pada laki-laki.”
 “Ya, aku tahu benar kau seperti apa.”
“Tapi aku belum siap mengatakannya padamu.”
“Hahaha. Kau ini. Aku ini temanmu sejak kecil, bukan orang lain. Apalagi, aku bukan guru yang suka memberikan pertanyaan yang perlu memeras otakmu untuk menjawabnya.”
“Besok saja aku ceritakan padamu, Surti.”
“Kau ini memang aneh. Baiklah. Tak apa. Kau memang perlu mengumpulkan nyali dulu sebelum aku bombardir dengan seribu pertanyaan yang akan membuatmu telak.”
            Munaroh menimpalinya dengan senyum.

***
Pagi kembali datang. Kampung Dukuh kembali hidup. Orang-orang mulai turun ke ladang ketika matahari mulai menyemburat cahyanya. Orang-orang mulai terlihat berlalu lalang melewati jalan setapak yang membelah ranumnya padi. Semakin ramai ketika ibu-ibu membawa kantong belanjaan dari pasar.
“Surti, kau ingin tahu lelaki yang telah membuatku terpikat, kan?” Di tengah perjalanan menuju sekolah mereka, Munaroh angkat bicara.
“Ya. Aku sudah tidak sabar untuk mengetahuinya.”
“Sebaiknya kau menahan napas terlebih dulu.”
“Tenang. Aku tak akan berteriak mendengar jawabanmu.”
“Kau lihat dua laki-laki yang sedang balapan sepeda itu?” Surti mengacungkan tangannya ke arah Timur Laut.
“Apa?!” bola mata Surti mendelik. Untuk memastikan penglihatannya, Surti mengucek-kucek matanya. “Jangan bilang kau menyukai lelaki yang sama denganku.” Surti melirik. Surti mencurigai Munaroh.
“Ah, kau tak perlu melayangkan pandangan seperti itu padaku. Aku bukan tersangka kasus korupsi.”
“Jelaskan padaku!”
“Aku tahu lelaki di seberang kita itu berwajah satu. Mereka sama. Tapi, bukankah mereka berbeda. Coba kau perhatikan lagi mereka berdua.”
“Maksudmu?”
“Ramli dan Ramzi. Aku mana mungkin menyukai lelaki incaranmu. Dia bukan tipeku. Aku lebih menyukai kembarannya. Dia manis, tenang, dan pintar. Tidak seperti Ramli yang terlihat belingsatan.”
“Hahahaha.” Seketika pelangi muncul di kedua bola mata Surti. “Sejak kapan kau menyukainya?”
“Sejak ia membantuku ketika rantai sepedaku putus pagi itu. Kami bertemu di jalan ini. Pagi itu aku akan ke sawah untuk mengantar rantang. Tepat di jalan ini rantai sepedaku putus. Kau tahu kan, jalan ini seperti apa teriknya ketika siang? Aku terpaksa menuntun sepeda. Kemudian Ramzi tiba-tiba datang menawarkan bantuan. Ia meminjamkan sepedanya untuk kupakai, sedangkan sepadaku ia bawa ke bengkel untuk dibenahi.” Munaroh bertutur panjang.
“Ah, romantis sekali cerita kalian. Aku, mana punya cerita dengan Ramli. Aku hanya selalu mengaguminya dari jauh. Dari batas itulah aku sering mengagung-agungkan namanya.” Surti terlihat masam. Ia tertunduk lesu.
“Sudahlah, kita bisa apa sebagai wanita. Kita hanya bisa menunggu.” Munaroh tak kalah lesunya.
“Kau mau lihat sesuatu hal yang tidak biasa?”
“Jangan. Jangan kau lakukan. Aku tahu maksudmu.”
“Ibu Kartini sudah memperjuangkan hidupnya agar wanita sederajat dengan laki-laki.”
“Tapi tidak dengan apa yang akan kau lakukan.”
“Aku bosan menunggu, Munaroh! Aku lelah!”
“Ingat. Kau wanita. Dan kau harus bisa menjaga harga diri, Surti.”
“Persetan dengan itu, Munaroh!” Surti melangkah cepat meninggalkan Munaroh.
“Surti, kau harus dengar kata-kataku!” teriak Munaroh.
Matahari kian meninggi seiring berputarnya waktu ke arah kanan. Menit demi menit terbuang dengan bayaran langkah yang jauh sudah meninggalkan rumah mereka. Entah apa yang sedang dipikirkan Surti, ia benar datang menghampiri keduanya. Mereka terlihat saling berbincang ramah. Sesekali tawa kecil tersungging menyelinap disela percakapan.
“Kau memang keras kepala dan berani, Surti.” Munaroh hanya mematung dari kejauhan. Ia tak berani mendekat. Kakinya menempel erat hingga tak sejengkal pun kakinya bergerak. Kamitenggengen.
Percakapan mereka usai. Surti dan kedua saudara kembar itu saling melambaikan tangan. Munaroh yang tidak sabar untuk mendengar hal tadi, segera bergegas lari menghampiri Surti. Kakinya melangkah dengan cepat. Kakinya tak lagi kamitenggengen.
“Apa yang terjadi, Surti? Katakan padaku, bahwa kau tadi tidak mengatakan yang sebenarnya.” Munaroh menodong Surti dengan tatapan tajam.
“Aku…aku… Ah, mana berani aku mengatakannya!” membuang wajahnya dan Surti berjalan lesu.

No comments: