Sepucuk Cerita dari Senja di Pantai Marina

Foto oleh Umu Umaedah

Senja dilepas Pantai Marina. Waktu yang mengantarkan kami sampai ke sini. Tidak ada rencana dan semuanya tanpa terduga. Seperti hal tak terduga sebelum-sebelumnya.

‘Kebetulan itu tidak akan datang terus menerus. Ini takdir.’ Begitu katanya dengan nada menenangkan.

Aku anggap itu betul. Karena sejauh ini semua kebetulan yang datang belakangan ini di luar skenarioku. Aku sendiri masih sumbang dengan hal yang tidak bisa dinalar logika. Semakin jauh aku berpikir, semakin tak kudapati jawaban yang kuharap. Pikiran ini bercabang tidak hanya bersimpang 2. Ada banyak kemungkinan yang tidak mungkin dan akan mungkin terjadi. Salah satu cara untuk mengetahui jawaban ini adalah mengikuti arus. Mungkin akan bermuara di danau cantik seperti yang ada dalam film barbie atau bisa jadi bermuara di danau mati Karakul seperti yang dikatakan Agustinus Wibowo dalam bukunya ‘Garis Batas.’

‘Aku masih perlu waktu untuk meyakinkan diri. Aku belum bisa mempercayainya.’
‘Itu tak menjadi masalah. Bisakah kau mendengar ini: aku sayang kamu.’ Dia berbisik lirih di telingaku.

Tak ada jawaban yang aku serukan padanya. Hanya sebuah tatapan tajam ke arahnya untuk meyakinkan apakah yang diucapkan benar tanpa pembohongan. Kata orang, sebuah kebohongan bisa dilihat dari mata. Entahlah, aku tak bisa membedakannya dengan benar.

Sampai di garis batas antara lautan dan langit, nampaklah 2 perahu yang nampak seperti mainan dari tempatku duduk. Perahu tersebut berkedip nyala beberapa kali sebelum akhirnya perahu tersebut lenyap entah kemana. Aku yakin, saat perahu tersebut ada dijarak 10 meter pastilah ia perahu besi sungguhan yang sangat besar dan kuat dengan layar yang berkibar sangat berani melawan angin. Yang aku tahu, garis pembatas itu telah menghilangkannya dari pandanganku.

Dia menggenggam tanganku erat. ‘Bisakah tetap seperti ini untuk beberapa detik saja?’
Aku mengangguk. Suatu keadaan yang disebut nyaman tiba-tiba hadir dalam sosoknya. Seseorang yang tidak ada hubungan darah apa pun denganku yang kutemui secara kebetulan. Seseorang yang berusaha menomor satukanku. Sosok ini mengingatkanku pada seseorang yang aku rindukan.

‘Kau seperti adikku.’
Ia tercengang. ‘Adakah alasan mengapa kau menganggapku seperti itu?’
‘Itulah adikku. Dia bocah kecil yang berusaha melindungi kakaknya. Dia juga bisa menjadi temanku yang baik. Tapi ia tetaplah adikku yang manja dan aku tahu dia adalah anak kecil yang masih perlu untuk dilindungi. Kau hampir seperti ibuku yang selalu mengkhawatirkanku dengan pertanyaan-pertanyaan khasnya.’ Aku yakin dia tidak mengerti apa yang sedang aku bicarakan.

Ia masih mengerutkan keningnya. Aku tahu, kata ‘adik’ membuatnya kecewa.

‘Berusahalah untuk menjadi sosok ayah atau kakekku! Anggap saja ini PR untukmu.’

Aku menyandarkan tubuhku dibahunya. Mata kami sama-sama terlempar jauh ke perbatasan garis yang telah menghilangkan 2 kapal besi beberapa menit yang lalu. Diam. Tak ada ucapan yang membawa kami ke percakapan berikutnya. Tapi aku menikmatinya dalam diam. Ombak semakin besar berkali-kali menghantam karang. Bagi kami, pemandangan ini mengerikan. Tapi tidak bagi para pemancing ikan di depan kami yang sedang panen raya berkali-kali kailnya disambar ikan. Si pemuda bertubuh tinggi kurus, berambut ikal, dan berkulit hitam berhasil mengangkat kail yang tengah digigit seekor ikan sebesar telapak tangan orang dewasa. Mereka tertawa girang mendapatinya.

‘Panen kita. Haha.’

Dalam hitungan mundur, bulatan cahaya kuning yang menjadi sumber cahaya tersebut akan raib oleh garis batas diujung senja. Kami menjauh dari pantai tepat setelah matahari tak nampak lagi.

"Kenyamanan hampir sama artinya dengan rumah. Adalah tempat untuk kembali pulang."



1 comment:

Aldhy said...

Mba.. saya mau tanya seputar pantai di Jogja yang bisa untuk camp.. kira2 mbak tau ga yang rekomendasi dimana ? terima kasih mba..