Semakin
lama langkah kaki terasa berat. Tak hanya itu, beban dipunggung yang kami gendong
makin menghambat. Bahuku sakit sekali. Keringat mulai menganak sungai.
Membanjiri wajah serta badanku. Bintik-bintik air asin itu mulai membentuk
kumis-kumis tipis. Aku semakin terlihat seksi dengan paduan hidung mancungku. Sesekali
kulap peluh itu dengan tanganku yang mulai kotor karena telah menjamah
tanah-tanah gunung.
“Laki-laki satu di depan. Berikutnya
wanita. Kita di belakang kalian. Ayo jalan.” Kata si ketua dengan diberi
julukan bujel. Panggilan konyol dari mana itu? Aku berfikir keras. “Bujel”
adalah istilah untuk pensil yang sudah tumpul dan harus diraut lagi agar bisa
untuk menulis. Ya ya ya. Apapun itu aku tak mau ambil pusing. Ada si gendhut
mas Danu. Ia terlihat seperti Ian dalam film 5cm. “Bagi kuahnya dong”. Ledekan
itu terus saja membuntutinya selama perjalanan. Lalu berikutnya ada mas Sipit.
Tinggalkan saja ia kalau sedang tertawa. Ia tak akan melihat kita pergi kok. Mereka
bertiga pasukan pemburu sunrise yang datang jauh-jauh dari kota Lumpia. Dari
Jogja ada mas Toton, mas Tholo. Begitulah panggilan sayang semenjak SMA yang sampai
jaman-jaman sekarang masih melekat erat pada mereka. Ada mas Melki dan ada partner wanita yaitu Anjar. Lengkap
sudah aku memperkenalkan rombongan pendakianku. Untuk 5 orang yang akan
menyusul itu aku hanya mengenal 1. Namanya mas Hanif. Aku dan Anjar pantas
bersombong ria. Kita berdua masih sangat belia dibanding mereka para senior kita.
Hahahaha.
Kini jalan setapak yang dilalui
semakin mengerikan. Banyak rumput-rumput liar dikanan kiri yang menyeruak
kejalan karena tak pernah dipotong. Aku pastikan rumput-rumput itu adalah
sarang ulat. Dan benar saja. Ulat bulu berkali-kali kujumpai sedang menanti
kami. Mungkin mereka ingin aku menyapanya. Tapi, ah itu membuat bulu kudukku
merinding. Dan juga ditepi sebelah kanan terlihat lereng-lereng dengan
kedalaman yang cukup dalam. Bahkan aku tak melihat dasarnya. Jantungku terasa
cenat-cenut membayangkan seandainya….. Ah sudahlah.
Perjalanan ini semakin terasa
mengasyikan ketika mendapati track yang lebih berat. Itu adalah tanah yang
terkena aliran air terus menerus sehingga menghasilkan sebuah lubang cukup
dalam seperti sungai kecil. Kami merayap diantara tanah yang terbelah itu. Dan
lagi tanjakan halus, tinggi kami temui. Tak ada rumput ataupun batang pohon
untuk berpegangan. Kami pasrah menunggu bantuan dari rombongan. Saling
mengulurkan tangan dan membantunya naik. Itulah yang aku suka dari perjalanan
ini. Mereka tak akan egois meninggalkan temannya.
Perjalanan yang cukup melelahkan
menghantarkan kami ke tanah lapang yang luas. Tapi itu bukan tujuan kami untuk
bermalam dan mendirikan tenda. Tujuan kami sabana 1. Kami hanya mampir sejenak
melepas lelah. Kami sempatkan berfoto-foto dulu. Backgroundnya keren. Gunung
Merapi dan kumpulan awan yang sangat tebal. Ah kita terlalu lama menghabiskan
waktu ditempat ini. Senja mulai menyapa. Hawa dingin mulai menusuk sampai ulu
hati. Sakit seperti sedang patah hati.
Ketua rombongan mengajak kami untuk
mendaki lagi sebelum matahari benar-benar lenyap. Tentunya itu akan membuat
dingin semakin pekat. Tiga rekan kami mas Sipit, mas Toton, dan mas pensil
tumpul itu memimpin kami di depan agar cepat sampai untuk mendirikan tenda
dahulu. Mereka cepat sekali memanjat. Mereka hilang bersama kabut-kabut yang
menyelimuti kami. Berkali-kali mas gendut yang ada di belakang kami mengalami
kram kaki sehingga membuatnya harus pelan-pelan mendaki.
Aku dan Anjar meninggalkan mereka.
Semula di depan kami banyak pendaki-pendaki lainnya. Namun kita masih kalah
cepat. Mereka yang berada di depan ikut lenyap dimakan kabut. Dari track-track
sebelumnya, lintasan inilah yang paling mengerikan. Bukit dengan kemiringan 45
derajat itu membuatku harus berjalan ekstra hati-hati. Salah pijakan saja atau
kita tak kuat mencengkram apapun untuk penopang, kita akan terjatuh ke bawah. Aku
tak kuasa melihat bawah. Mengerikan. Kita berjalan merangkak seperti bayi. Kanan
kiri hanya rumput-rumput dan sesekali ada tanaman berakar yang bisa dijadikan
pegangan. Sampailah kita dititik dimana kita tak mampu lagi melintas. Ada 2
jalan. Jalan sebelah kanan adalah tanah licin tak berumput. Akan mudah sekali
melengserkan kita kebawah. Sedangkan jalan sebelah kiri lumayan mudah namun
kita tak bisa melompat kesana. Dan lagi kita pasrah menunggu bantuan datang.
Sayangnya tak ada seorangpun yang melewati kita. Mereka masih berasa jauh
dibawah. Termasuk rombonganku. Kita tersangkut. Ah. Kita hanya terdiam dan
terduduk lesu. Beberapa menit kemudian ada rombongan mulai mendekati kami.
Kuharap itu adalah rombonganku. Semakin mendekat ternyata bukan.
“Mbak jangan berhenti dijalan.” Kata
seseorang dari mereka.
“Bukan mas. Kita hanya tak bisa melewati jalan
didepan. Bisakah menolong kami?” Pinta Anjar.
“Oalah. Iya mbak bisa.”
Satu dari mereka melewati kami lalu mengulurkan
tangannya. Kami terselamatkan. Karena hari mulai gelap dan untuk berjaga-jaga,
akhirnya kita bergabung dengan mereka yang berjumlah 6 orang. Mereka anak-anak
dari UGM. Tepat adzan magrib, kami sampai ditempat yang cukup luas untuk
beristirahat.
Ditempat peristirahatan, kami bertemu dengan anak laki-laki
berusia 5 tahun yang dibawa Ayah dan Bundanya. Ia kedinginan. Tak kuasa
melanjutkan perjalanan sampai sabana 1. Ada kejadian yang mengharukan disini.
Itu berawal saat si Ayah melepaskan jaket untuk anaknya. Si Ayah turun lagi ke
bawah untuk mengambil tenda yang dibawa oleh rombongan. Kasian sekali anak itu.
Dipeluknya erat-erat oleh Bunda dan dielus-elus untuk menghangatkan tubuhnya.
Ia meminta kami untuk menemaninya sebentar sampai si Ayah datang. Kami mencoba
menghiburnya. Ia tetap diam dipelukan Bunda.
“Bunda, Bunda, Ayah mana? Kok lama?” Tanya si anak.
“Iya sebentar lagi dek. Itu ada cahaya tu. Mungkin
itu Ayah.” Bunda menenangkannya.
“Aku mau Ayah disini Bunda.” Polos sekali jawaban
anak itu.
“Ini ada om sama tante disini nemenin Altaf (Aku
lupa nama sebenarnya).”
Ah aku serasa menemukan ponakan yang telah lama
hilang. Mungki tak hanya aku. Mereka mungkin merasakan sama sepertiku. Hahaha. Kita
mencoba menghiburnya agar ia kembali tersenyum. Namun senyumnya kecut sekali.
“Yang penting Ayah disini Bunda.” Anak itu tetap
mengkhawatirkan si Ayah.
Oh mengharukan sekali.
Ada senter mendekati kami. Itu bukanlah Ayah dari
Altaf. Tapi rombongan kami yang tertinggal. Oh Tuhan terima kasih telah
mempertemukan kami kembali.
*Sujud Syukur*
Kami dengan setia menanti Ayah Altaf seperti menanti
Ayah kami sediri. Pandangan Altaf menatap kosong ke bawah. Pastilah ia sangat
mengkhawatirkan Ayahnya. Aku larut bersama mata sayunya. Ia makin kedinginan.
Dan sekarang, gelap benar-benar sudah datang.
Setiap cahaya mendekat kami berharap itu Ayah Altaf.
Semakin cepat ia sampai, maka kamipun akan segera dapat melanjutkan perjalanan
sampai ke sabana 1. Dan alhamduliah cahaya berikutnya datang dari orang yang
sedari tadi ditunggu. Kami bersorak kegirangan dan bertepuk tangan. Kita semua
senang. Akhirnya kita akan melanjutkan perjalanan. Hahaha. Senyum Altaf
kembali. Manis sekali ia. Kamipun berpamitan dan berlalu.
To Be Continue...
To Be Continue...
2 comments:
Ini mengingatkanku pengalaman mndaki merbabu, bedanya disini posisi kalia n bertemu anak yg kdinginan, Ini mengingatkanku pengalaman ketika aq hampir jatuh ke jurang, dan yang menyelamtkan setangkai batang kecil licin yang tertancap di tanah. :D
ayo share juga ceritamu...
Post a Comment