Gambar diambil dari ngulik |
Terjebak dalam waktu paling mengharukan, seharu dan
sesakit ketika sedang patah hati.
‘Untuk semua salah yang di sengaja atau
tidak, maaf lahir batin ya Pak Dhe. Maaf juga untuk kesalahan almarhum bapak
ibu saya Pak Dhe.’ Mbak Dewi berurai
air mata saat menyalami bapakku. Sedangkan di sampingnya adiknya yang sedang
menyalami ibuku ikut berurai air mata. Wajahnya
menunduk mencium tangan ayah dan ibuku cukup lama sementara ayah dan
ibuku memberi wejangan. Kedua kakak beradik itu membuatku dan kurasa orang-orang
yang ada di dalam ruang tamu ikut meneteskan air mata. Atau berusaha menahan
air matanya dengan mengusap sebelum tetesannya jatuh.
‘Iya,
Pak Dhe sebagai orangtua juga sering berlaku salah kepada yang muda. Semoga di
hari yang fitri ini, Allah senantiasa memaafkan kita semua. Kamu Wi, sebagai
anak yang paling tua harus bisa membimbing adik-adikmu. Kamu harus lebih kuat
dari adik-adikmu. Ayah ibumu sudah pulang, semoga bisa tenang. Jangan lupa
untuk selalu mengirim doa untuk almarhum.’
Tangis makin pecah disusul suara sumbang mengiris-iris
hati. Ah, hatiku ikut tersayat, perih. Saudaraku yang lain memilih untuk keluar
dari ruangan mencoba untuk menegarkan diri. Aku tahu dari caranya menarik napas
panjang lalu menghembuskan untuk membuat hatinya sedikit lebih baik.
3 bulan yang lalu tepatnya. Seminggu sebelum selamatan
100 hari meninggalnya kakak dari ayahku yaitu almarhum bu dhe, pak dhe ku
meninggal dengan cara mendadak. Ia meninggal ditemukan tergeletak bersandar
pada pohon kelapa di sawah. Diduga penyebab meninggalnya adalah serangan darah
tinggi. Pada hari itu, keluarga besarku berduka dua kali lipat. Rencana Tuhan
memang tidak bisa ditebak.
Sebelum meninggalkan, pak dhe sempat berpesan pada mbak
Dewi untuk menjaga adiknya, Kevin yang masih duduk di SMA.
'Nanti
adikmu dipikirkan kuliahnya termasuk biaya-biayanya.’
Begitulah pesan terakhirnya sebelum meninggal keesokan harinya.
Batas umur manusia tidak bisa terdekteksi tanggal
kadaluarsanya. Sewaktu-waktu kita bisa dipanggil untuk pulang tanpa diberi tahu
kapan waktunya.
Mbak Dewi menyeka air matanya. Ia mengangkat kepalanya
dari pangkuan ayahku. Sedangkan Kevin masih terus menangis.
Lebaran kali ini terasa begitu berbeda. Orang-orang
terdekat di sekitarku pergi satu per satu dengan cepat yang membuatku setengah
tidak percaya bahwa mereka sudah tiada. Terkadanga aku merasa mereka masih ada
di sekitarku. Tapi setelah menyadari ketidakhadirannya, sepertinya aku perlu
bangun dari tidurku dan melihat kenyataan.
Dulu, lebaran tahun lalu, rumah almarhum pak dhe dan bu
dhe selalu menjadi tempat untuk berkumpul. Sekedar untuk mencicipi bakso
buatannya atau untuk bercengkerama sambil menikmati banyak makanan di meja.
Sayangnya semuanya serba dulu. Ada yang hilang dan hal itu tidak akan pernah
kembali.
Ketika datang hanya untuk sementara dan kemudian pergi. Waktu itu begitu singkat.
No comments:
Post a Comment