Bukan Salah Kopi



Habis baca bukunya Pidi Baiq, jadi terinspirasi nulis. Sudah mirip sama karakternya Pidi Baiq belum, ya? Hahaha. Selamat menikmati:


“Kaylaaa!” Mas Panji memanggilku. Dia adalah pimpinan bagian operasional di kampusku.
“Ya.” Aku menjawab kaget.
“Kamu ngawas ujian di ruang F25, bukan?” nadanya meninggi.
“Iya, seharusnya.” Jawabku enteng.
“Seharusnya?” Mas Panji nanya balik.
“Iya.”
“Lalu, kamu, kenapa berada di ruang lain?”
“Aku?” aku balik nanya.
“Iya, kamu, Kayla, siapa lagi yang bernama Kayla di sini!”
“Aku, perutku, sedang tidak beres.”
“Lalu?”
“Aku ngawas sendiri, perutku sedang dalam keadaan tidak baik. Lalu, kalau di dalam ruangan, aku kenapa-kenapa, maksudnya, perutku, aku harus gimana? Jadi, aku minta teman untuk menggantikanku.”
“Teman kamu, mau?”
“Mau.”
“Nggak kamu paksa, kan?”
“Enggak. Rela dia.”
“Jadi, kamu ngawas berdua?” dia nanya lagi, Mas Panji.
“Iya, berdua.” Aku mengangkat 2 jariku yang kutunjukkan pada Mas Panji. Sebenarnya nggak perlu. Tapi tanganku reflek sendiri.

            Mas Panji memicingkan sebelah matanya padaku. Aku seperti sedang diadili di meja hijau. Sorot matanya tajam. Itu membuatku semakin tersudut.
“Apa yang terjadi di dalam ruangan?” katanya.
“Apa?” aku malah balik tanya.
“Perutmu yang sedang tidak beres, mengamuk?”
“Iya. He he he,” Jawabku sambil tertawa kecil, “aku tiga kali bolak-balik toilet.”
“Mas nggak nanya.”
“Oh.” Aku merasa malu.
“Jadi, perutmu memang lagi nggak beres, ya?”
“Iya.”
“Oh, ya udah.”
“Ya udah gimana, Mas?” aku nanya.
“Ya udah, mau diapain lagi kalau memang seperti itu.”
“He he he. Oke.”
“Oke apanya?”
“Ya, oke. Karena Mas Panji bilang, ya udah.”
“Itu amnesti. Kali lain, jangan.” Mas Panji memperingatkan.
“Jangan apa?”
“Jangan membuat perutmu nggak enak lagi.”
“Iya.” Jawabku menunduk, “maaf.”
“Maaf apa?”
“Maaf nggak akan membuat perutku merasa tidak enak lagi pas lagi ngawas ujian.”
“Karena apa? Pasti ada sebab.”
“Sebab?” aku nanya.
“Iya. Apa sebabnya?”
“Mungkin aku akan menyalahkan kopi.”
“Kok, kopi?”
“Aku boleh permisi nggak, Mas?” aku mengacuhkan pertanyaan Mas Panji.
“Permisi untuk apa?”
“Perutku kembali berdemo. Aku ingin ke toilet lagi.”
“Sekarang?”
“Enggak, besok. Iya, lah, sekarang.”
“Oke.”
“Oke. Makasih.” Aku berlalu setengah berlari menuju toilet.

            Aku cinta aku. Maka dari itu aku membenci kopi. Salah? Oke, ralat. Sebaiknya aku menjauhi kopi. Ya, kopi. Aku suka dia. Dia juga suka aku, dulu. Mungkin sih gitu. Tapi enggak dengan sekarang. Sekarang dia selalu membuatku sakit. Aku bisa lihat itu dari asap yang mengepul itu. Terlihat, dia enggak menyukaiku lagi. Suka itu, nggak saling menyakiti. Aku memilih untuk pergi. Aku nggak ingin jadi bodoh dengan terus membuatku merasa sakit. Itu sama saja, aku bunuh diri. 

            Dia tak lagi memedulikanku. Dia tak lagi menginginkanku. Oke. Aku tahu diri. Aku tahu harus apa. Dia selalu diam tanpa bicara, tanpa menjelaskan apa pun. Itu membuatku bingung. Aku tidak salah, kan, kalau aku menggunakan presepsi aku sendiri?

“Tidak salah, kan?” aku mengulangi lagi pertanyaan itu entah ke siapa yang aku tuju.


4 comments:

Unknown said...

Hahahaha percakapannya semacam dilan banget, diulang ulang cuma satu dua kata, yaudah kalo mules mending jangan keluar rumah skalian, repot mba ahahaha

Junggle Boys said...

Gak salah si, dia juga mungkin gak salah. dia hanya menggunakan persepsinya dalam memperlakukan 'aku'.
Menarik!

tulisanummu.blogspot.com said...

@Febrian Ipat: Haha.. iya kan nyoba nulis ala pidi baiq ini. Wahaha

tulisanummu.blogspot.com said...

@Junggle Boys: makasih