Jengah

Foto diambil dari wallpaper



Aku benci menunggu! Aku pikir wanita lain pun, juga sependapat denganku. Apalah arti menunggu jika tidak ada kepastian. Tidak ada sebuah komitmen. Mau dibawa kemana sebuah hubungan tanpa kedua hal tersebut? Sebagai wanita aku merasa dirugikan! Akhirnya, aku memutuskan untuk membebaskan diriku juga membebaskan dirinya. Dirinya yang telah membuatku harus selalu berpura-pura tegar. Dirinya yang membuatku harus selalu berlapang dada. Dan dirinya yang membuatku lupa bahwa aku adalah wanita. Wanita yang butuh tempat berlindung dan bersandar.
ಆಆಆ
Kami berdua beradu pandang saat berpapasan di halaman kampus. Aku berpikir bahwa Tuhan telah mengatur waktu ini untuk bertemu dengannya. Dia tersenyum dan tanpa kuduga, aku membalas senyumnya.
“Mau ke mana? Bolos kuliah?”
Itulah kali pertama dia menatap wajah dan mengajakku berbicara, setelah dua semester lamanya kita duduk di kelas yang sama.
“Ti…tidak. Kuliah kosong. Dosennya tidak bisa hadir.” Aku tergagap mendapati pertanyaan yang terasa seperti harta karun yang tiba-tiba jatuh di hadapanku.
“Benarkah?”
Aku hanya menganggukkan kepala.
“Baiklah. Terima kasih, Alya. Hati-hati di jalan. Aku akan bertemu teman-teman dulu.” Dia kembali tersenyum dan berlalu.
Aku masih berdiri diam. Aku terjebak dalam jerat senyumnya.
ಆಆಆ
Sejarah baru saja tercipta dalam kamusku. Aku masih sangat ingat kejadian itu. Awal dari ceritaku bersamanya, Rafa. Dia adalah teman yang sudah satu tahun ini menjadi teman kelasku. Akhir-akhir ini ada yang aneh denganku. Aku sering mencuri-curi pandang ke arahnya selama kuliah berlangsung. Aku mengemasnya dengan sangat rapi, bahkan teman dekatku yang selalu duduk berdampingan denganku tak pernah menyadarinya. Sadarku, aku yakin bahwa aku sedang jatuh cinta.
Ah, awal memang selalu manis. Manis sekali layaknya gulali warna-warni yang sering dijual di pasar malam. Kupikir hari esok akan sama dengan hari kemarin. Tapi nyatanya, hari esok lebih baik dari hari ini. Bahkan sangat baik. Aku mulai sering berbincang dengannya hingga berbagi cerita. Mulai dari cerita ilalang hingga cerita mengenai debu yang diterbangkan angin sampai ke negeri entah berantah. Dari pagi sampai pagi lagi, namanya selalu membuat handphone-ku berdering.
ಆಆಆ
 “Happy New Year!!”
Hiruk pikuk kendaraan yang terpaksa berhenti karena padatnya jalan. Ribuan letupan kembang api bersama iring-iringan terompet bersahutan membelah Jogja, malam itu. Pelataran Museum Jogja Kembali berubah menjadi lautan manusia dalam waktu singkat.
“Selamat tahun baru.”
Rafa berbisik lirih di telingaku. Aku tak membalasnya. Aku memilih untuk membuang pandanganku mencari objek untuk menjadi sasaran kecanggunganku. Kurasa Rafa tahu apa arti senyum yang kututupi itu. Tapi Rafa diam. Ia mengambil pena dari saku dan  menuliskan: 01.01.2013 pada terompet yang dibelinya sebelum berangkat tadi. 
“Terima kasih kamu telah bersamaku di malam pergantian tahun ini.” Rafa menatap tajam kearahku. “Aku antar kamu pulang, dan segeralah tidur.”
Setelah mengantarkanku sampai kontrakan dengan selamat, ia berlalu. Sepertinya aku akan terjaga sampai benar-benar pagi dengan pipi merona dan kemudian kamarku akan ditumbuhi banyak bunga nan semerbak.
ಆಆಆ
Ruang lingkup yang sama membuat kita mau tak mau membuka peluang untuk saling bertemu setiap hari. Bahkan tak hanya kesempatan bertemu dengan tidak sengaja, beberapa kali kita menyempatkan untuk jalan berdua. Namun, lambat laun ada yang ganjal dengan kebersamaan kami. Terlalu manis bila hanya dikatakan sebatas teman, dan terlalu biasa untuk dikatakan kekasih. Bahkan sampai sekarang, setahun berlalu aku tak pernah tahu apakah dia mencintaiku atau tidak? Apakah dia menginginkanku atau tidak. Yang aku tahu hanyalah, dia seperti sedang memberikanku sebuah peluang untukku mengenalnya lebih dekat. Dan Rafa sepertinya menerima keberadaanku. Ah, sepertinya. Itu tentu saja belum bisa menjadi bukti. Wanita hanya bisa menunggu!
“Raf, sebenarnya hubungan apa yang sedang kita jalani sekarang ini?” terpaksa aku melayangkan sebuah pertanyaan yang sebenarnya membuatku malu untuk menatapnya.
“Aku sudah pernah bilang sebelumnya. Jalani saja yang bisa kita lakukan sekarang. Sudahlah, tidak perlu membahas hal seperti itu lagi.”
“Aku butuh kejelasan!”
“Jika kamu menganggapku kekasih, anggap saja seperti itu. Jika kamu menganggap teman, aku pun bisa jadi temanku. Yang jelas, wanita yang sedang dekat denganku kali ini hanya kamu. Yang kuinginkan sekarang, segera lulus kuliah dan lekas bekerja.”
“Apakah aku harus menunggu sampai kamu mendapatkan pekerjaan dulu, baru aku mendapat kejelasan?”
“Aku dekat dengan wanita tidak main-main, Alya. Untuk saat ini aku belum bisa melanjutkan kehubungan yang lebih serius. Dan aku tidak bisa menjanjikanmu apa-apa. Banyak kemungkinan dan simpangan di depan. Kita jalani saja.”
“Kamu terlalu dewasa atau apa? Yang sedang kita hadapi adalah masa sekarang. Masa depan, akan ditemui esok jika kita berusaha.”
“Sudahlah. Aku tak mau membahas itu!”
“Mungkin, kamu memang tak memiliki gambaran masa depan bersamaku.” Aku berbicara dengan sangat lirih. Tak yakin Rafa mendengarnya.
Aku menunduk. Aku tak perlu lagi melihat dari sudut pandangnya. Pertanyaan yang tertampung, terjawab sudah. Sepertinya aku tahu harus berbuat apa. Jawaban singkat  itu cukup bagiku untuk aku segera mengambil kesimpulan.
ಆಆಆ
“Alya!! Bahkan aku sudah memperingatkanmu untuk tidak terlalu serius dengannya. Kamu lupa dengan apa pernah aku ceritakan?” sahabat dekatku, Melanie, mulai terlihat geram atas sikapku.
Aku terlalu mengistimewakan seseorang yang tak pernah mengistimewakanku. Aku terlalu berambisi mengejar pemilik senyum indah itu tanpa mempedulikan perasaanku.
“Tapi, aku melihat kesungguhan di matanya. Dan selama aku mengenalnya, dia baik.”
“Baik belum tentu benar. Kalau dia orang baik, dia tidak akan membuat perempuan sampai mengutarakan perasaannya. Kalau dia baik, dia tidak akan memberikan harapan-harapan yang dia sendiri tidak tahu akhirnya.”
“Lalu aku harus apa, Mel?”
“Kamu sudah sejauh ini melangkah, sekarang terserah padamu. Ikuti kata hatimu.” Melanie membenamkan wajah ke bantal tidurnya. Malam semakin malam. Melanie larut bersama mimpinya. Sementara aku, aku masih sibuk menemukan alasan untuk apa aku harus bertahan hingga jawaban tak kunjung kudapat dan akhirnya aku ikut tenggelam bersama malam di pulau kapuk.
ಆಆಆ
Hari-hari berikutnya, aku sibuk memikirkan alasan-alasan untuk membencinya. Mencari celah untuk aku bisa pergi meninggalkannya tanpa merasa berdosa. Sebenarnya aku sudah mengantongi beberapa alasan tepat, namun aku juga masih punya alasan kuat untuk mempertahankannya. Namun sebuah kalimat yang kutemukan telah menembus benteng pertahananku: “Terkadang kau perlu menjauh agar kau tahu siapa yang akan mendekat”. Mungkin aku akan melakukan saran tersebut. Aku sudah memikirkan resiko terburuk yang akan terjadi.
            Selepas Rafa diwisuda, ia diterima kerja di sebuah perusahaan IT di Jakarta, sementara aku memilih untuk tetap tinggal di Jogja dan meneruskan karir di dunia fashion. Ini adalah waktu yang tepat. Disela-sela kesibukan kami berdua yang sedang menikmati pekerjaan baru, aku juga tengah disibukkan untuk mulai menjauh dari Rafa.
            Usaha menyibukkan diri selama berbulan-bulan, membuatku tak memiliki waktu untuk memikirkan hal-hal bodoh selain fokus ke duniaku sekarang. Bahkan kini aku memiliki beberapa karyawan dari usaha Boutique yang aku rintis dari nol.
ಆಆಆ
            “Kamu mulai jarang menghubungiku sekarang, bahkan kalau kukirim pesan hanya sekali dua kali dibalas. Kamu marah?” Rafa yang sudah sejak tadi diam memperhatikanku mengaduk-aduk es krim yang hampir lumer, tiba-tiba mengeluarkan suara.
            “Kamu tidak perlu bertanya kalau kamu sudah merasakannya.”
“Kasih aku sebuah alasan.”
“Sebuah alasan saja, kurasa tidak cukup untuk mengobati kecewaku. Aku akan memberikan waktu dua bulan untuk berpikir. Berpikirlah dan utamakan prioritasmu. Aku serius.”
Rafa menganguk pelan. “Es krimnya jangan kamu putar-putar terus. Tapi dimakan. Dia akan menyelamatkan harimu.” Rafa tersenyum tanpa bersalah sedikitpun padaku.
Aku tak menjawab ucapannya. Aku sibuk memandangi orang yang berlalu lalang melewati pintu masuk mall.
ಆಆಆ
Semenjak pertemuan terakhir itu, waktu dua bulan yang aku ajukan tinggal tersisa dua hari lagi. Aku masih sabar menunggu dan sengaja tak memperingatkannya. Karena jika hal ini tidak diingatnya, berarti aku bukan prioritasnya. Dia semakin sibuk dengan pekerjaannya sekarang setelah ia naik jabatan, bahkan kita sudah jarang berkomunikasi. Tak ada kata maaf atau penjelasan apa pun sampai detik ini. Sampai pada hari tanggal terakhir  pada batas yang telah aku tentukan, aku belum juga mendapat kabar. Hanya tinggal menghitung waktu mundur. Tepat pukul 23.59 alarmku akan berbunyi sebagai pertanda waktu telah habis dan tanda silang merah akan jelas aku goreskan di kalender meja belajarku.
Malam, ijinkan aku untuk membenci seseorang malam ini. Malam ini saja. Aku janji, karena besok pagi aku akan melupakan benciku tapi jangan salahkan aku kalau aku juga akan melupakannya.
ಆಆಆ
Dua hari setelahnya, Rafa mengirim pesan untukku. Seperti biasa, ia sama sekali tak merasa bersalah. Begitulah Rafa, tak pernah merespon ucapan seriusku. Rafa yang selalu memikirkan dirinya sendiri. Rafa yang tak menyukai wanita lemah dan Rafa yang kurasa tidak peduli padaku. Ya, Rafa lupa. Dia lupa bahwa aku seorang wanita yang butuh pelukannya untuk menguatkanku.
Satu bulan berlalu, aku memutuskan untuk menerima lamaran dari seseorang. Seseorang dalam masa laluku. Kami yang berpacaran hampir setahun sewaktu SMA dan harus putus karena dia pindah sekolah. Dia pindah ke Medan bersama keluarganya. Kota yang cukup jauh dari Jogja. Bahkan setelah SMA, dia melanjutkan kuliahnya di Turki sampai akhirnya dia bekerja dan menetap di sana. Dia datang begitu saja tanpa rencana. Kami bertemu dengan tidak sengaja di acara pameran fashion yang diselenggarakan di Jogja Expo Centre. Dia hadir seolah obati rindu yang selama ini aku cari dalam diri Rafa.
Tanggal pernikahan sudah ditentukan tidak jauh dari tanggal lamaran kami. Hanya berselang 3 minggu. Itu karena dia sedang cuti satu bulan di Indonesia. Dan setelah pernikahan aku akan diboyong ke sana.
Maafkan aku, Rafa. Sepertinya dia lebih membutuhkanku. Aku melihat rumah dalam tatapannya yang teduh. Aku yakin dia lebih siap untuk melindungiku.
Kukirimkan undangan pernikahanku melalui email. Tak berapa lama, namanya menari-nari di layar handphone-ku.
“Jadi itu yang kamu lakukan selama ini? Secepat itu kamu menerima lamaran orang lain saat kita sedang bersama? Kamu anggap apa aku?!” nadanya tinggi. Baru pertama kali ini dia membentakku.
“Bersama? Bukankah aku hanya temanmu? Kamu tak pernah memberiku penjelasan mengenai hubungan kita. Kamu tak pernah menanggapi pembicaraan seriusku. Aku tak pernah tahu, apakah kamu menyukaiku atau tidak. Dan  kamu lupa, dengan waktu dua bulan yang aku berikan itu. Hampir tiga tahun menunggu dengan banyak pertanyaan dan seharusnya aku dapatkan jawaban itu darimu. Tapi akhirnya aku sadar satu hal, terkadang pertanyaan-pertanyaan di dunia ini diciptakan tanpa sebuah jawaban.”
“Tapi aku mencintaimu, Alya. Aku sayang kamu.”
“Sudahlah, Rafa. Aku sudah tak ingin mendengar yang aku tunggu sejak hampir tiga tahun lalu. Kata-kata yang seharusnya membuatku tahu bahwa aku telah dimiliki.”
“Alya, aku mohon. Jadilah kekasihku.”
“Sebelum kamu mengatakan itu, orang lain sudah terlebih dulu memintaku untuk menjadi istrinya. Ibu dari anak-anaknya nanti. Sudahlah, jangan pernah kamu sesali. Aku sudah memperingatkanmu, sebelumnya. Kamu tahu, di dunia ini dihuni banyak manusia. Sekali saja kamu melewatkan sesuatu yang berharga bagimu, ingat, ada orang lain yang akan mengambilnya. Dan kamu, kamu sudah melewatkanku.”
“Maaf, Alya. Maaf untuk semuanya.”
Selalu tanpa penjelasan. Begitulah Rafa.
Aku ingin menangis untuk malam ini saja. Karena, akhirnya aku memilih keputusan yang tepat. Yaitu memilih Abby yang jauh lebih menginginkanku. Sedangkan, rasa cintaku pada Rafa yang kujaga selama tiga tahun, tak pernah bisa jatuh di tempat yang aku inginkan.
Akhirnya aku tahu siapa yang peduli padaku. Dia yang peduli padaku, pada akhirnya akan mendekat walaupun di tempat yang jauh sekalipun. Selamat tinggal Rafa dan selamat datang cinta, aku berjanji akan setia menjaga lilin yang kamu beri.





No comments: