Orang-orang
di kampung pinggiran pantai yang setiap hari melihat Marwan, bocah berusia 8
tahun yang biasa mematung di tepian pantai kala senja, sudah sangat terbiasa
dengan tabiat bocah itu tanpa banyak bertanya kenapa atau sekedar menganggapnya
gila. Orang-orang sudah tahu betul kenapa Marwan seperti orang linglung yang
hanya diam memandang laut lepas. Satu tahun sudah, setiap menjelang senja,
Marwan berlarian menjangkau pantai. Rumahnya yang berjarak 50 meter dari
pantai, membuatnya terengah-engah hampir kehabisan napas. Ia berlari tanpa
berhenti sekalipun dan selalu berhenti di titik yang sama, di pinggir pantai.
Laut lepas selalu menjadi tempatnya memulai pengharapan dan laut lepas pula
yang membuatnya berputus asa ketika pengharapan itu tak tak berbalas padanya.
Sampai matahari benar-benar menghilang dari garis pantai, baru ia akan pulang
ke rumahnya. Ia tak lagi berlari. Jalannya pelan, kepalanya menunduk lesu. Orang-orang yang melihatnya hanya bisa diam
dan tak bisa berbuat banyak.
Selama
setahun pula, Marwan telah menjadi orang lain. Marwan yang periang dulu, kini
berubah menjadi anak pendiam dan sangat tertutup. Ia tak lagi berkawan dan
bermain bersama teman-teman seusianya yang suka menggembala domba ataupun
mencari undur-undur di pinggir pantai sambil bermain air. Tidak. Mulutnya
begitu susah untuk mengeluarkan suara. Ia selalu diam tak merespon ketika
ditanya orang-orang. Ia seperti bisu dan tuli. Bahkan ia terlihat seperti anak
keterbelakangan mental. Begitu orang-orang berguman. Alhasil, ia tak pernah
lagi berkomunikasi dengan orang lain kecuali dengan kakek dan neneknya. Itu
saja hanya sepatah dua patah, Marwan bersuara. Selebihnya, ia lebih suka
bertemakan sepi. Diam menyudut dalam kamarnya. Ah. Sungguh Marwan sekarang
telah menjadi orang lain. Ia berubah semenjak kepergian kedua orangtuanya.
Orangtuanya
bekerja sebagai nelayan. Ketika itu, setahun yang lalu. Suatu hari Marwan
bersikukuh ingin ikut bapaknya melaut. Walaupun sudah dilarang, Marwan tetap
saja membandel. Ia merengek-rengek untuk terus ikut. Ketika itu ia baru berusia
7 tahun. Umurnya masih terlalu muda untuk ikut bertarung dengan ombak. Walaupun sebenarnya, di tengah laut sana,
banyak anak-anak di bawah umur mempertaruhkan hidupnya untuk menjadi pekerja
jermal. Pekerjaan yang sangat beresiko. Pekerja jermal harus memutar jaring
dengan katrol yang disebut dengan penggilingan. Keselamatan mereka tergantung pada
kerjasama sesama pekerja. Sebab, salah-salah mereka bisa tercampak ke laut atau
terkena hantaman katrol yang dipegangnya kemudian jatuh tenggelam di tengah
laut. Sisi kerasnya kehidupan membuat anak-anak pinggiran pantai yang
seharusnya bisa bermain-main dan duduk manis di bangku sekolah di masa
kecilnya, tapi mereka harus ikut merasakan asam manisnya kehidupan.
Dengan
pertimbangan yang cukup lama, akhirnya bapak mengijinkan Marwan untuk ikut
melaut.
“Le..
kau boleh ikut Bapak besok. Ini bisa jadi pembelajaran untukmu biar kau bisa membantu
pekerjaan Bapak. Tapi, emak harus ikut untuk menjagamu.”
Tidak
semua orang pinggiran berpikir luas. Mereka tidak berpikir bagaimana cara anaknya
nanti bisa sukses dengan gelar seperti orang-orang kaya lainnya. Tidak. Anak
lelakinya diharap bisa membantu meringankan pekerjaan bapaknya sebagai nelayan.
Ya, dari kecil, mereka sudah dididik untuk menjadi seorang nelayan. Bukan untuk
menjadi orang-orang yang bisa keluar dari tempat nyamannya dan melawan dunia.
“Sekolah
tinggi-tinggi pun, kemudian menjadi pejabat Negara. Nanti kau bisa ketularan
mereka. Seenaknya uang rakyat kau masukkan dalam kantongmu. Kau akan berdosa.
Tidak hanya itu. Tuhan akan menghukummu. Masih mending kita menjadi rakyat
biasa. Uang yang kita pegang, uang yang kita masukan kantong adalah uang hasil
keringat kita sendiri. Hidup kita pun ringan. Karena sesungguhnya orang yang
berkantong tebal akan memiliki banyak pertanggungjawaban.” Begitu anggapan
orang-orang yang berusaha menjadi pemain
bertahan. Bukan pemain penyerang.
Pagi-pagi
buta, keluarga Marwan beserta rombongan sudah siap untuk melaut. Cuaca nampak
bersahabat.
“Kita
akan panen hari ini, Kang Arso.” Teriak bapak Marwan kepada temannya. Lalu
tertawa.
“Semoga
saja, Kang. Lumayan untuk menutup kerugian kemarin.” Kang Arso ikut tertawa.
“Sudah
siap bukan semua perlengkapan, Kang? Aku sudah tak sabar untuk menikmati hasil
panen kita.”
“Sudah,
Kang.”
Perahu
yang dinaiki 6 orang bersama Marwan dan ibunya mulai menyentuh bibir pantai.
Seperti biasa, perahu-perahu nelayan yang akan melaut atau menepi akan dibantu
oleh teman-temannya yang di daratan. Beramai-ramai, orang-orang mendorong
perahu itu menyentuh air. Perlu waktu cukup lama untuk perahu bisa melewati
ombak yang menghantam pantai. Tak jarang, perahu nelayan kembali ke pantai
karena terhantam ombak. Tapi kali ini, perahu yang dinaiki Marwan dan
rombongannya berhasil melewati ombak dan melesat dengan cepat. Mereka akan
berlayar sampai ke tengah laut. Butuh waktu sampai 2 jam untuk mereka bisa
sampai di tempat yang dirasa pas untuk menyebar jaring.
Benar
saja. Cuaca secerah ini berdampak baik. Banyak ikan tertangkap. Tak hanya ikan,
sesekali udang atau lobster pun ikut terjaring.
Hasil panen hari ini benar-benar bisa menutup kerugian hari kemarin.
Saat bapaknya beserta teman-temannya bekerja, Marwan sendiri sibuk menjadi
seorang pengamat. Ia belum cukup mampu untuk menyebar jaring ataupun menarik
jaringnya kembali. Emak Marwan sendiri memilih untuk menjadi penonton.
Terik
matahari makin menyengat. Bayangan tubuh sudah tak terlihat lagi. Matahari
benar-benar di atas kepala sehingga tidak menyisakan bayangan sedikitpun.
“Kang
Arso, kurasa tangkapan kita sudah lebih dari cukup. Ayo kita pulang. Pelajaran
pertama untuk anakku sampai di sini dulu.”
“Baik,
Kang. Kita angkat jaring terakhir kita ini.”
“Kau
sudah lihat kan Wan cara kami mencari ikan? Kau bisa belajar lebih banyak lagi
nanti. Sebentar lagi kita pulang.”
“Iya,
Pak.” Marwan menjawab singkat sambil mengangguk-anggukan kepala. Kemudian ia
kembali sibuk menjadi pengamat.
Seorang
nelayan juga harus mengontrol diri. Saat ikan melimpah, mereka tidak boleh
serakah demi membawa pulang banyak ikan. Keselamatanlah yang paling penting.
Karena menjadi seorang nelayan tidak kalah beresikonya dengan pekerja jermal.
Mereka sama-sama bertaruh nyawa di tengah laut.
Mereka
terlihat bahagia. Berkali-kali rombongan bapak Marwan tak hentinya tertawa atau
tersenyum sumringah. Cuaca memang cerah. Secerah hasil panen hari ini. Selesai
dengan jaring terakhir, mereka bersiap pulang. Perjalanan 2 jam terasa begitu
lama karena sudah tak sabar ingin menimbang hasil tangkapan.
Perjalanan
pulang, ternyata tidak semulus perjalanan sewaktu berangkat. Langit yang
tadinya biru, dengan tiba-tiba mulai berawan. Angin mulai bertiup dan arus laut
menjadi kuat. Membuat perahu tidak bisa berjalan cepat. Berkali-kali perahunya
harus oleng karena arah angin bertolak belakang dengan arah perahu. Tak
disangka angin semakin kuat seperti akan terjadi badai. Mereka berusaha keras
untuk menepikan perahu yang sedang terhalang angin kencang. Beberapa orang
mulai terlihat menarik tali untuk membenahi layar. Sebagian mulai tampak serius
menjalankan perahu bermotor. Walaupun perahu yang ditumpangi adalah perahu
bermesin, namun tetap berat untuk menerobos angin di tengah-tengah laut seperti
ini. Pantai sudah mulai terlihat dari
lokasi perahu terjebak badai. Namun tetap saja tak bisa dijangkau dengan cara
berenang. Itu lebih berbahaya. Perahu terombang-ambing mengikuti arus. Naasnya,
mesin mendadak mati. Marwan dan orang-orang di dalamnya mulai panik. Mulut
mereka mulai berkomat-kamit memanjatkan doa keselamatan. Emak Marwan bahkan
terlihat berurai air mata . Ia ketakutan. Tak hanya emak, semua yang berada di
perahu dilanda rasa was-was yang sama. Keadaan seperti inilah yang sangat
ditakuti nelayan saat melaut. Inilah resiko yang harus dihadapi nelayan.
Sebenarnya,
mereka sudah terbiasa menghadapi kondisi seperti ini. Tapi kali ini tidak
seperti biasanya. Segala upaya dilakukan, namun perahu justru semakin tak terkendali. Ketika itu, ombak
besar tanpa ampun menghantam sisi perahu yang ditumpangi Marwan, orangtua, dan
pekerja lainnya. Perahu terbalik. Mereka berteriak dengan kencangnya. Suasana
semakin kacau setelah kepanikan itu melanda. Orang-orang bersama ikan hasil
tangkapan tercebur di laut lepas.
“Allohuakbar!!”
Bahkan
terdengar suara orang berteriak membaca syahadat. Suara mereka tidak ada
artinya di sana. Tak akan ada yang mendengarnya. Laut menyerapnya.
Padahal
semua nelayan yang melaut harus lulus syarat utama, yaitu bisa berenang. Namun
sepandai-pandainya orang bisa berenang, bila nasib buruk sedang menimpa, ia tak
akan bisa mengelak dari takdir. Mereka tak mampu berenang tatkala angin dan
arus menggulung-gulung mereka. Pasrah. Mereka pasrah menanti keajaiban Tuhan.
Mungkin,
nelayan yang berada di pinggir pantai, melihatnya. Perahu yang tadinya berada
di atas permukaan, tiba-tiba raib ditelan laut. Nelayan di pinggir pantai mulai
riuh untuk memberikan pertolongan. Tapi mereka juga harus berhati-hati. Bila
tidak, mereka juga akan bernasib sama seperti perahu Marwan dan orang-orang di
dalamnya. Sambil menunggu bantuan dari TIM SAR datang, dua perahu bermotor
bersiap menerjang ombak untuk menolong perahu mereka yang karam. Dengan
bersusah payah, sampai di tempat kejadian, orang-orang di dalam perahu tadi,
tidak terlihat lagi. Orang-orang di dalam perahu beserta perahu mungkin sudah
tenggelam atau terbawa arus. Dua perahu yang hendak menolong itu kecewa. Mereka
tidak bisa menyelamatkan temannya. Berkali-kali mereka berputar-putar tak jauh
dari lokasi tetap saja mereka tidak terlihat. Demi keselamatan, dua perahu
bermotor itu berniat menepi. Ketika itu mereka melihat tubuh seseorang terombang-ambing
di atas papan kayu. Ialah Marwan. Satu-satunya orang yang selamat dalam kejadian
naas tersebut. Marwan yang belum bisa berenang, bisa selamat. Inilah keajaiban
Tuhan yang tidak terduga. Tuhan ora sare.
Begitu orang-orang menyebutnya.
Semenjak
peristiwa itu, Marwan mulai terlihat murung. Ia merasa sangat bersalah. Karena
dirinya yang terus merengek-rengek untuk ikut itulah, kedua orangtuanya tewas. Karena
dirinya lah, pekerja lainnya pun ikut tenggelam. Marwan tak habis-habisnya menyalahkan
dirinya sendiri. Perasaan bersalah itu selalu menghantui dirinya. Mungkin ia
depresi. Antara perasaan bersalah sekaligus perasaaan kehilangan orang yang
begitu dekat dengan dirinya. Semenjak itu pula ia tak pernah lagi mau berbicara
dengan orang lain. Semenjak itu, warga pesisir pantai kehilangan sosoknya yang sering
bertingkah lucu. Itu membuat orang-orang tertawa. Tapi, bocah kecil berusia 7
tahun itu telah berubah.
Suatu
hari menjelang senja. Marwan tak seperti biasanya. Ia berdandan lebih rapi. Rambutnya
bersempong tengah, klimis dengan lapisan minyak kemiri. Ia memakai baju
berkerah yang dimasukkan ke dalam celana pendek.
“Nek,
aku hendak ke pantai. Aku ingin bertemu bapak dan emak.” Tak seperti biasanya
yang selalu berlari tanpa pamit ketika menjelang senja.
“Kau
tidak apa-apa, Marwan?” Nenek tertegun cemas. “Kau kan tahu, emak dan bapakmu
sudah tiada Wan.” Nenek Marwan menghampiri, memeluknya, lalu mengelus-elus
kepala Marwan. “Ada Nenek dan Kakekmu di sini yang juga menyayangimu. Kau tidak
sendiri. “
“Aku
tidak apa-apa, Nek. Nenek tak perlu cemas. Aku rindu sekali dengan mereka. Aku
akan pulang segera, Nek.”
“Apa
perlu Nenek temani?”
“Tidak
perlu, Nek. Aku berangkat, ya.”
“Ya
sudah. Kau hati-hati ya, Marwan.”
Marwan
berlari. Kira-kira 10 meter dari rumah, Marwan berhenti dan berbalik. Ia
memandangi Neneknya yang masih berdiri untuk melihatnya pergi. Marwan
tersenyum. Untuk pertama kalinya Marwan tersenyum setelah kedua orangtuanya
tiada.
“Nenek
dan Kakek baik-baik ya?” Marwan berlari sambil melambaikan tangan.
Nenek
masih berdiri memandangi Marwan sampai di ujung belokan. Ia menghilang dari
pandangan. Nenek dibuat heran oleh tingkahnya sore ini. Orang-orang yang
ditemuinya di jalan pun heran melihat Marwan berlari kecil sambil tersenyum.
Bahkan beberapa orang sempat berhenti untuk memastikan Marwan.
“Apakah
Marwan sudah benar-benar gila? Dia tersenyum!” Celetuk seseorang yang berhenti
karena keheranan.
“Apakah
dia sudah sembuh? Atau mungkin jin yang menempel padanya di laut dulu, sudah
pergi?” Orang-orang semakin heran melihat Marwan yang sudah mulai tersenyum
lagi.
Di
pinggir pantai Marwan kembali diam. Sorot matanya jauh menatap ke tengah laut. Kala
senja, nelayan di pantai mulai beriringan untuk pulang. Pantai mulai ditinggalkan
penghuninya. Marwan melangkah ke bibir pantai sampai kakinya basah terkena sisa
ombak yang berjalan lembut menyapu pasir. Ia kembali tersenyum. Tangannya mulai
ikut bermain air lalu menyiprat-nyipratkannya. Orang-orang yang melihat Marwan
sungguh sangat keheranan. Tapi tak ada seorangpun yang menegurnya. Marwan
berjalan makin ke tengah menuju ombak yang mulai pasang. Beberapa orang mulai
memperhatikan tingkah Marwan dari jauh. Tetapi tak ada satupun orang yang
mendekat. Yang mengejutkan orang-orang, Marwan berlari makin kencang ke arah
ombak yang sedang bergulung-gulung. Barulah orang-orang berteriak dan berlari
mendekatinya. Sayang seribu sayang. Tubuh bocah kecil itu telah tersapu ombak. Tubuhnya
tak tampak lagi. Saat orang-orang panik dan berteriak, bocah kecil itu
tersenyum manis dalam gulungan ombak.
“Emak,
Bapak, aku merindukanmu. Aku akan bertemu dengan kalian sebentar lagi. Tunggulah
aku.”
No comments:
Post a Comment