Di lincak depan rumah,
Sutinah duduk menunggu bedug magrib. Lincak rumahnya terbuat dari bambu yang biasa
menjadi tempatnya duduk untuk sekedar melepas lelas setelah menghadapi hari.
Sutinah duduk bersama suaminya, Gunadi. Mereka tak lagi muda. Usianya telah
menginjak kepala empat. Sesekali bercengkerama, mereka terdiam melepar
pandangan ke arah peraduan matahari. Senja menjadi teman bercerita sepasang
suami istri yang tidak lagi muda tersebut. Satu-satunya anak yang mereka punya
telah disunting lelaki dari desa sebelah. Anak perempuannya, Lasmi, diboyong ke
kota metropolitan. Kini Sutinah dan Gunadi masih setia menunggu gubuk kecil
mereka untuk kembali melanjutkan hidup.
Dari jauh terlihat
sesosok perempuan mendekatinya. Wajah perempuan itu masih bisa dikenalinya
walaupun membelakangi cahaya matahari. Wajahnya tegang. Raut wajahnya seperti membendung
hal berat.
“Kau rupanya,
Kinarsih.” Sutini berujar.
“Ya, ini aku Lek,
Asih.”
Kinarsih ikut duduk
bersama Sutinah dan Gunadi. Angin sore berhembus semilir. Pohon-pohon singkong
di kebun melambai-lambai lemas. Pelepah-pelepah pisang pun ikut bergoyang
riang.
“Anu. Lek Tinah sudah
mendengar berita tak sedap tentang emakku, bukan?”
“Ah, itu. Iya sudah. Bagaimana”
“Aku baru mendengarnya
siang ini dari wa Mirah. Tak sangka emak semakin berbuat nekat. Kurasa emak
mulai tidak waras sekarang. Emak lagi-lagi membuat malu keluarga.” Amarah Asih
mengebu-ngebu.
“Lek rasa, emakmu
memang benar-benar sudah kehilangan akal. Malunya hilang demi rupiah-rupiah
haram itu. Banyak orang yang sudah melihat emakmu menggenggam uang kaleng hasil
infak pengajian.” Gunadi menimpalinya.
“Sebagai anak, aku tak
pernah lupa memberikan uang untuk emak. Yanto dan Sri juga sering bergilir
menjatahnya. Tapi entahlah uang itu digunakan untuk apa sehingga emak selalu
merasa kurang.”
“Bahkan emakmu sering
meminjam uang untuk membeli ayam katanya. Lalu uang hasil untung jualan
sebelumnya dan uang pemberian dari anak-anaknya dihabiskan untuk apa? Lek juga
heran. Untuk makan saja sederhana. Belanja pun jarang.” Lek Tinah bertutur.
“Entahlah, Lek.
Sebagai anak tertua, aku merasa sangat malu. Mungkin orang-orang berpikir
anaknya tidak pernah memberinya nafkah setelah bapak meninggal. Ah. Oh ya Lek.
Tadi pagi sebelum emak berangkat ider, aku
memanggilnya untuk membicarakan hal itu. Tapi emak malah berkilah dengan
berkata: Aku tidak sudi bila dinasehati oleh air kencingku sendiri. Lalu emak
pergi begitu saja sambil menenteng keranjang jualannya. Orangtua macam apa itu
Lek yang tidak mau dianggap salah. Emak belum juga jera setelah peristiwa
kemarin.” Asih mengelus-elus data.
“Lek
saja sudah bosan menasehati emakmu Sih. Hanya dianggap angin lalu. Percumah.
Orang-orang dipengajian semakin gusar karenanya. Tapi belum ada yang menegurnya
secara langsung. Pengurus pengajian masih diam.”
“Lalu aku harus
bagaimana Lek? Lek Tinah dan Lek Gunadi kan tahu, emak memusuihi anak-anaknya
sendiri. Setiap kali diajak berembug, emak
tidak mau disalahkan.”
“Kalau ada waktu yang
tepat, kalian sebagai anak-anaknya janganlah bosan untuk menasehatinya.
Pikirku, bawa saja emak untuk disidang di balai desa. Mungkin itu akan
membuatnya jera.”
“Mau menasehati
seperti apa kalau baru saja mau membuka mulut, emak sudah memborbardir terlebih
dulu.”
Kini, matahari sudah
benar-benar tenggelam keperaduannya. Gelap. Bedug magrib terdengar
bertalu-talu.
“Magrib Nduk. Ayo masuk rumah saja, bicara di dalam
rumah. Ora ilok.”
“Aku pulang saja Lek.
Nanti suamiku mencariku.”
“Nanti biar Lek mu
yang menyampaikan hal ini ke pengurus pengajian untuk ditindaklanjuti. Kau
resah, kami pun resah.”
“Iya Lek. Aku pulang
dulu.”
Jalan setapak di tengah
kebun singkong dan kebun pisang terlihat menyeramkan. Sinar lampu petromak yang
berada di emper rumah tak sampai menerangi jalan setapak yang membelah kebun.
Hanya remang-remang. Pohon pisang menimbulkan bayangan besar yang nampak lebih
seram dari aslinya.
Lingkungan
RT yang diketuai oleh pak Surono sedang dilanda resah. Bagaimana tidak, bila
ayam-ayam mereka sering tak pulang ke kandangnya. Atau menthok-menthok yang
masuk ke rumah emak Asih dengan
diiming-iming makanan lalu tak akan terlihat lagi keluar melewati pintu.
Kayu bakar di emper rumah warga sering hilang. Bahkan sayuran yang ditanam di
kebun dekat rumah bisa raib dengan sendirinya. Warga pak Surono tidak heran
lagi siapa dalang di balik hilangnya barang-barang tersebut.
Mereka
yang pernah kehilangan tak jarang menegur emak Asih. Namun bukannya mengakui
kesalahan dan meminta maaf, emak Asih malah balik memarahi mereka. Tidak mau
kalah, emak Asihlah yang lebih heboh marah-marah ketimbang warga yang pernah
kehilangan. Mau tak mau, warga diam karena malas bertengkar dengannya. Memang
hanya barang sepele namun lambat laun hal tersebut membuat resah karena terus
saja terjadi.
Sebenarnya
Emak Asih termasuk warga kurang mampu di RT-nya. Kalau emak Asih berkelakuan
baik, pasti sudah banyak orang iba melihatnya. Tapi bagaimana orang akan iba
dengan kelakuannya. Dituduh maling pun tak merasa.
“Pak
RT, harus tegas sekarang. Kalau tidak, kita yang akan dirugikan!” Salah seorang
warga berteriak keras dikerumunan. Beberapa warga yang didominasi oleh ibu-ibu
sedang berkumpul. Sebenarnya mereka tengah menunggu tukang sayur. Namun seperti
biasa, kebiasaan ibu-ibu di kampung. Sembari menunggu tukang sayur datang,
mereka duduk santai sambil berbicara ngalor-ngidul
yang ujung-unjungnya membicarakan orang. Pastilah, emak Asih menjadi topik
utama dalam obrolan mereka.
“Iya
benar Pak RT. Sudah banyak warga yang kecurian olehnya.”
“Datangi saja
ramai-ramai. Biar kita sidang Pak!”
“Nanti akan saya
datangi dulu. Biar saya ajak bicara emak Asih pelan-pelan. Orang seperti itu
susah diajak rembug. Apalagi kalau
kita beramai-ramai meghakiminya. Kalau belum bisa juga, biar nanti kita sidang
di balai desa.” Pak RT menengahi warganya.
“Orang melarat bukanya
diam malah banyak tingkah. Banyak cakap pula.”
“Iya. Tidak tahu diri
namanya!”
Ibu-ibu lainnya
menambahkan. Mulai gemrungsung seperti
lebah yang dirusak sarangnya.
“Bagaimana juga emak
Asih tetangga kita. Tetangga kurang mampu yang seharusnya kita bantu.”
“Bagaimana mau
membantu kalau saja ayam saya dimalingi berkali-kali Pak.”
“Yowes biar nanti saya yang tangani ini dengan Pak Lebe. Saya janji
akan menanganinya.”
Mendengarnya, ibu-ibu
yang tengah berkumpul merasa sedikit lega. Bersamaan itu tukang sayur yang ditunggu
datang. Mereka berpindah lapak.
Pak Surono mengetuk
pintu yang terlihat sepi. Berulang kali mengetuk, belum juga ada sahutan.
Barang kali emak Asih sedang tidur siang. Namun tak berapa lama kemudian pintu
rumah terbuka menimbulkan bunyi.
“Greeeet… greeetttt……”
“Oh, Pak RT. Monggo masuk Pak.”
Rambut emak Asih yang
sudah hampir putih sempurna terlihat berantakan. Emak baru saja bangun tidur.
“Mak, saya ke sini
ingin membicarakan unek-unek warga. Tapi saya minta Emak untuk tidak
marah-marah. Saya ke sini ingin bicara baik-baik.” Pak Surono menjelaskan
maksud dari kedatangannya.
“Pak RT mau ikut
menuduh saya sebagai maling! Heran. Warga sini tidak ada yang kasihan melihat
orang susah seperti saya. Saya itu orang melarat. Kok ya masih pada tega.”
“Mak, ini bukan
masalah tega ataupun masalah melarat. Saya mewakili warga di sini Mak. Mereka
sering kehilangan ayam, menthok, ataupun kayu bakar yang ada emper rumah.
Beberapa orang melihat, Emaklah yang mengambilnya. Tidak hanya itu. Santer
terdengar akhir-akhir ini kalau Emak suka mengambil uang kaleng di pengajian.”
“Tidak. Saya tidak
mengambilnya. Percaya kok sama mulut rusak seperti mereka. Mereka itu
orang-orang yang tidak punya hati sama orang melarat. Mulut rusak jangan dipercaya.”
“Jadi Emak tidak mau
mengakuinya?”
“Saya tidak pernah
melakukannya Pak RT, jadi bagaimana saya mau mengakui.” Emak Asih mulai naik
pitam.
Pak RT yang
menghadapinya mulai geram melihat tingkah emak Asih. Ia seperti tidak sadar
dengan apa yang dilakukan dan diucapnya. Tidak sadar atau berpura-pura tidak
sadar.
“Mereka melihat
sendiri Emak yang melakukannya. Tidak hanya satu orang, tapi banyak orang. Akui
saja Mak kalau iya lalu meminta maaf dan jangan ulangi lagi.”
“Sudah dibilang mereka
itu mulut-mulut rusak!”
Ah, sudah diduga. Emak
Asih pasti akan berkilah. Bahkan ia balik memaki-maki Pak RT. Emak Asih terus
bicara tanpa henti seperti orang yang tidak waras. Berkali-kali tangannya
memukul-mukul kursi lapuk yang didudukinya dengan tangan.
“Jadi Emak tidak
melakukannya? Baiklah. Tapi Mak, ini peringatan terakhir untuk Emak. Kalau seandainya
ada aduan lagi dari warga seputar hal ini, saya dan warga tidak segan-segan
untuk membawa Emak ke balai desa untuk di sidang.”
“Kalian orang-orang
kaya tidak tahu bagaimana rasanya jadi orang melarat. Memang mulut kalian mulut
rusak!”
Emak Asih masih saja
menggerundel sambil memukul-mukul tempat duduknya. Pak RT tidak peduli dan
segera keluar meninggalkan rumah emak Asih. Sebaik apa pun berbicara dengan
emak Asih, selalu saja ditanggapi dengan sinis. Bahkan tuduhan yang sudah
jelas-jelas terbukti, masih saja tidak mau mengakuinya.
Emak Asih yang sudah
tua, hidup sendiri di gubung kecil sederhana. Ketiga anaknya sudah berkeluarga.
Rumah anak-anaknya tak jauh dari rumahnya. Paling jauh hanya beda RT saja. Namun
ia memilih untuk tidak ikut anak-anaknya. Mereka tidak akur. Bahkan terlihat
seperti musuh.
Pukul 2 siang, balai
desa sudah ramai didatangi ibu-ibu yang hendak mengikuti pengajian. Ruangan
luas itu mulai dipenuhi orang. Tak terkecuali emak Asih yang hampir selalu
rutin mengikuti pengajian. Peserta pengajian sudah mewanti-wanti ketika kaleng
infaq pengajian mulai bergilir. Hanya bertempatkan cething yang tidak ditutup, orang-orang bisa dengan mudah untuk
memasukkan uang. Bahkan tak jarang dari mereka mengambil kembalian sendiri
bermodal kejujuran. Tiba giliran cething itu
dihadapan emak Asih, orang-orang mulai memasang mata. Dan benar saja. Apa yang
ditakutkan terjadi lagi. Emak Asih mengambil uang infaq lagi. Bukannya ikut
menyumbangkan uangnya, emak Asih malah mengambil uang berwarna hijau lalu
digenggamnya. Orang-orang yang melihatnya seraya berteriak. Emak Asih masih
saja diam berpura-pura tidak mengetahui apa yang terjadi. Pengajian sempat
terhenti. Orang-orang mulai ramai berbicara. Sampai ketua pengajian datang
menghampiri emak Asih. Orang-orang memandang emak dengan tatapan ketidaksukaan.
“Kami sudah
berkali-kali kecolongan uang infaq dan selama ini pula kami berusaha untuk
diam. Tapi apa, Emak mengulanginya lagi dan terus. Kembalikan uang itu Mak. Itu
bukan hak Emak.” Bu Yanti selaku ketua pengajian angkat bicara.
Uang yang ada
digenggaman tangan emak dimasukkan kesaku bajunya.
“Kalian orang-orang
kaya yang tidak punya hati dengan orang yang tidak punya apa-apa seperti saya
ini!”
“Kami hanya meminta
Emak untuk mengembalikan uang infaq tersebut. Berhentilah Emak berbuat onar.
Tidak takutkah dengan dosa, Mak? Itu uang bukan hak Emak.”
“Kalian semua sama
saja. Bisanya hanya menyengsarakan rakyat kecil. Saya ini melarat tidak punya
apa-apa!”
“Tapi tidak dengan
mengambil yang bukan haknya, Mak. Emak berdosa berbuat demikian. Sudahlah Mak. Kembalikan
dan bertaubatlah.”
“Aku tidak sudi
mendengar nasihat dari pithik yang
baru saja menetas. Kalian tidak pernah diajari sopan santun?” Omongan emak Asih
makin tidak keruan. Seperti orang yang mulai kehilangan akal sehatnya.
“Aku tidak sudi
menginjak pengajian ini lagi. Dasar kalian orang-orang tidak punya hati dengan
orang melarat!!” Sambil mengumpat emak pergi meninggalkan ruangan pengajian. Orang-orang
hanya diam memandangi emak Asih pergi. Yang dicuri memang uang tak seberapa. Tapi
itu bukan hak miliknya. Dan terus saja terjadi. Tentu hal tersebut membuat
resah.
Dengan wajah yang
murka, emak meninggalakn pengajian. Orang-orang tidak ada yang menahannya. Semua
terdiam membiarkan emak pergi. Di tengah kebingungan orang-orang, tiba-tiba
terdengar suara rem motor yang direm secara mendadak. Kemudian disusul suara
motor jatuh dan teriakan sekali napas. Suara itu berhenti. Yang terdengar kini hanya
suara motor yang masih menyala. Orang di dalam ruang pengajian segera
berhamburan keluar. Terlihat emak Asih tergeletak diam bersimbah darah. Lelaki yang
membawa motor juga terlihat tergeletak tak berdaya di sampingnya. Roda sepeda
motor masih berputar.
No comments:
Post a Comment