PEMAIN BERTAHAN



“Kau tak menginginkannya lagi?”
Tatapan Andina menukik tajam ke arahku. Aku nampak tak berselera untuk  menjawabnya. Sedangkan pandanganku terlempar jauh ke jendela. Bukan jendela yang menjadi persinggahan tatapku, tapi jalan lurus tak berujung hingga terpotong oleh garis khatulitiswa.

“Jadi ini batasmu untuk mempertahankannya? Inikah akhir yang kauharapkan setelah kau berlari cukup jauh hingga kau rela terjatuh berkali-kali? Ayolah Del, ada apa denganmu sekarang?”
“Andina kau tak mengerti!” buku yang sedari tadi tak bersalah itu kubanting keras-keras.
“Apa kau tak melihatnya dari caraku menatapnya? Aku terlalu menginginkannya Din. Kalau aku bisa berlari dan mengejarnya, aku akan melakukan itu. Aku ingin sekali berlari dan menggenggamnya. Tapi jiwa ini memilih untuk menjadi pemain bertahan. Aku tak ingin lagi menjadi pemain penyerang. Keadaan sudah berbeda, Andina.”
“Kau yakin?”
“Aku akan berusaha untuk selalu meyakinkan diriku sendiri.”

Lonceng berbunyi nyaring tatkala angin menyeruak diorama rasaku. Yang kutahu, angin akan berjalan dan meninggalkan bekas daun jatuh sebagai bukti kedatangannya. Kali ini ia lebih bersahabat denganku. Ia berbisik lirih:

“Kau boleh menitipkan salam untuknya jika kau rindu. Kelak, aku akan menghampirinya dan menyampaikan pesanmu.”
 “Aku akan mempercayakan kepada tanah untuk menyimpannya dalam-dalam. Ia lebih setia padaku”
Hampa. Daun kering jatuh meninggalkan buktinya.


No comments: