Berawal Dari Pelarian (PENDAKI)




Inilah cerita awal seorang PENDAKI. Ada yang bilang, adanya seorang PENDAKI berawal dari pelarian seseorang untuk menghapus sebuah jejak. Melarikan diri dari segala kemelut hidup yang menyambanginya. Aku menentangnya ketika mendengar pernyataan tersebut. Terlebih saat pertanyaan itu diacungkan padaku, mengenai keterterikanku untuk mendaki. Aku beralibi bahwa itu adalah sebuah mimpi lama yang baru bisa terlaksana. Aku dibuat berfikir atas pernyataan tersebut. Teringat satu tahun yang lalu, awal pendakian pertamaku di Puncak Gunung Prau. Aku terkekeh dalam hati.
“Baiklah aku mengakuinya”.
Mendengar hal tersebut, tawa kemenangan mereka (teman-temanku) meledak. Kalau dalam tulisan sebelumnya aku menceritakan kisah perjalanan untuk sampai ke puncak Gunung Prau, kali ini cerita berikut akan sedikit mellow.
Baiklah. Aku menyandang gelar sebagai pendaki yang berusaha untuk melarikan diri dari kenyataan. Aku menceritakan ini bukan karena aku ingin memungut kembali cerita masalalu. Bagiku, masalalu hanya bisa dikenang. Namun kali ini lebih pantas di katakan bahwa aku ingin melupakannya. Cerita ini berkaitan dengan cerita CINTA. Buat pembaca yang bosan membaca kisah “CINTA”, sebaiknya hentikan sekarang juga pada kalimat di titik ini >> (.). Bila masih melanjutkan pada kalimat ini, ahh sudahlah jangan menjadi seorang yang naïf.
Cinta yang tidak pada tempatnya bisa saja terjadi. Mungkin bila dibuat judul lagu atau judul cerpen akan menjadi seperti ini “Cinta Yang Tertukar” atau maksudnya “Cinta Yang Salah”. Namun bukannya cinta itu buta? Bahkan tak bisa disadari kenapa perasaan itu tumbuh begitu saja tanpa sengaja di tanam. Itu terlau absurd untuk di teliti. Bahkan seorang dengan IQ tertinggi pun tidak bisa mengelak dari cinta. Karena ia datang dari hati.
Cinta salah itu datang kepada sahabat mantan pacar. Nah! Terlalu salah bila diteruskan. Awalnya belum kusadari bahwa itu cinta. Namun semakin lama, perasaan itu membuatku sesak nafas. Aku semakin paham saat jantungku terpompa begitu cepat ketika berada di dekatnya. Aku selalu berpura-pura tegar dan menepisnya. Aku selalu mengelabuhi hati bahwa itu bukan cinta dan bukan cinta. Semakin aku membohongi hati, aku semakin merana. Tumpukan surat itu semakin meninggi tanpa pernah diketahui olehnya.
Aku tidak bisa untuk meneruskan cinta ini. Itu prinsip. Bagaimana akhir cerita kedua sahabat itu bila aku bertindak bodoh! Tunggu, mungkin pembaca akan bertanya-tanya “Memangnya dia merasakan hal sepertimu?”. Aku sangat yakin dengan jawaban IYA. Namun dia tidak menyadarinya. Aku terlalu hebat untuk menyembunyikannya. Dia adalah murid saudaraku. Saudaraku yang menjodohkannya.
Hanya untuk menjalin tali kasih yang klise harus mengorbankan salah satu hati. Itu terlalu egois. Bahkan mungkin aku akan membenci diriku sendiri atas pilihan bodohku itu. Sebaiknya aku menarik kembali ulur hatiku. Dan jadikan itu sebagai warna-warni cerita hidup.
Sebelum pendakian itu terjadi, aku hanya berfikir, setelah berjalan di jalan yang terjal berliku pasti akan ada keindahan. Sebelum melakukan pendakian, kutuliskan sebuah surat yang akan menjadi surat terakhirku untuknya. Itu akan menjadi penutup ceritaku. Setumpuk surat itu masukkan dalam sebuah kotak. Untuk melegakan nafasku, aku berjanji akan membongkar cerita ini.
Dengan semangat 45 dengan harapan puncak yang indah, perjalanan itu dimulai. Untuk melengkapi cerita ini, pembaca bisa membaca kembali kisah perjalanan tersebut di Melukis Pagi Di Puncak Perahu.
Dan perkataan temanku benar adanya. Gunung menjadi tempat yang tepat untuk melakukan pelarian. Karena di atas sana, kau akan merasakan hal lain yang tidak bisa dirasakan di tempat biasa. Di atas awan, kau bisa menerbangkan semua hal yang ingin kau lepas. Membuangnya di tempat yang tinggi sehingga tak bisa lagi menggapaimu ketika kau sudah berada di bawah. Semua akan indah pada waktunya teman. Cinta sejati itu akan setia mendampingimu tanpa meminta balasan.
Akan ada cerita mengenai perjalanan selanjutnya. Tunggu.




No comments: