Purnama tak lagi terlihat bundar. Kedua bagian
tepinya perlahan menghilang beberapa busur derajat. Langit memang masih
terlihat luas dengan hamparan bintang yang menganak sungai. Jauh dari
pandanganku terlihat ramai. Begitukah
rupa orang-orang yang sedang berbahagia? Tanyaku.
Aku sendiri tersudut dalam sepi. Menikmati malam di
veteran monumen. Kelap-kelip lampu, indah menghiasi sebuah pohon yang berada
persis di depanku. Di sampingnya, suara guyuran air mancur menambah ritme yang
syahdu. Pukul 12 malam lonceng berbunyi kencang. Paduan suara dari gedung
sebelah sedikit menghiburku. Ini adalah malam hari besar Natal bagi yang
menyakininya.
Dalam dunia dongeng, akan ada sinterklas yang
terbang di langit bersama rusa-rusanya untuk membagikan kotak hadiah untuk
anak-anak yang menganut agama tersebut. Aku bahkan bukan penganutnya, dan aku
tidak mengharapkan hadiah darinya, tapi aku terus saja memandangi bulan itu.
Mungkin aku akan melihat dongeng itu secara nyata walaupun terlalu absurd.
Kotak musik pemberian orang tuaku, 4 tahun yang
lalu, aku ambil dari ranselku. Aku menjaganya dengan baik dan sekarang masih
bisa bersuara dengan indah. Ini pertama kalinya setelah kedua orang tuaku
tiada, aku mendengarkannya kembali. Perlahan kuputar mesin pada bagian belakang
untuk menyalakannya. Boneka wanita berbaju balet itu kini menari-nari riang di
depanku. Aku selalu menikmati suasana seperti ini. Suasana di mana aku bisa
tersenyum menangis tanpa diketahui orang lain. Aku merindukan Ayah Ibu yang
sudah berada jauh di alam lain. Aku merindukan pelukan Ayah dan Ibu ketika aku
merasa lemah. Tapi sekarang, tempat nyaman itu sudah hilang. Kini, aku hidup
seorang diri di sudut kota seramai ini.
Burung-burung dara yang biasa menemaniku di monument
ini, kini tak ada satupun terlihat. Mungkin dia sedang pulang ke rumah
masing-masing untuk berpesta Natal malam ini. Terpaksa biji-biji jagung yang
sudah kubawa ini akan kembali aku bawa pulang. Aku akan kembali esok. Mungkin
esok hari burung-burung itu akan kembali meramaikan tempat ini. Aku bersiap
pulang. Kuayun kakiku untuk pergi. Sekelebat cahaya putih menampakkan diri dan kemudian
berpendar dari penglihatanku. Mataku terbelalak kaget.
Aku pasti
berhalusinasi.
Kembali aku menjauh pergi. Menyusuri tiap
lorong-lorong kota yang nampak lenggang dan tak berpenghuni. Aku merasakan
sebuah keganjilan. Seperti ada yang sedang membuntutiku. Berkali-kali aku
menengok belakang untuk memastikannya. Tidak ada apa-apa. Namun hatiku tidak
bisa dibohongi. Aku semakin penasaran. Kusandarkan tubuhku pada tembok ruko
yang sudah tutup malam itu. Seperti seorang preman jalanan yang sedang menanti
mangsanya. Mataku menatap jeli ke arah belakangku. Lima menit berlalu tidak ada
tanda-tanda.
Mungkin hanya perasaanku saja.
Semakin cepat aku mengayun kakiku. Perasaan takut
mulai muncul. Aku semakin bergegas untuk segera menuju rumah dengan kepala
menunduk. Bahkan lingkungan komplek malam ini terlihat sepi. Padahal seharusnya
ramai karena mereka sedang merayakan Natal. Langkahku terhenti ketika sesosok
hewan seperti rusa mendekatiku. Kakiku menempel kuat pada aspal tak bisa
digerakkan. Aku membisu kaku. Aku pasrah dengan apa yang akan terjadi padaku.
Mungkin hewan itu akan menyerudukku dengan tanduknya. Tapi tunggu. Rusa tidak
akan memiliki satu tanduk yang berada di ubun-ubun kepalanya. Ia berjalan pelan
mendekatiku. Tubuhnya putih menyala dan menghasilkan sinar ungu. Mataku
terpejam rapat.
Ah mungkin aku
akan segera menyusul Ayah dan Ibu. Tapi aku belum siap. Aku masih mempunyai
satu keinginan yang belum terlaksana. Pikiranku tak karuan. Mungkin aku harus menghitung mundur untuk
melepas nyawa ini dariku. Aku akan menyusulmu Ayah, Ibu…. Lima, empat, tiga
dua…
Belum sempat hitungan terkhir kuucap, hewan itu
berkata lirih.
“Aurelia Kaitlyn Madlynson…”
Aku terperangah. Tepat di depan mataku ia bediri.
Aku yakin bahwa dia adalah rusa. Namun tidak dengan tanduk satu yang menjulang.
Tidak ada rusa bertanduk satu di dunia ini.
Dia
terlihat baik dan tak ingin membunuhku.
“Kaukah yang berbicara itu?”
“Ya, aku.”
Aku menganggap diriku telah gila karena bisa
berbicara dengan seekor hewan. Berusaha mengetuk-ngetuk kepalaku untuk
menyakinkan hal ini. Dan benar. Ini adalah nyata. Ia masih berada di depan dan
menatapku.
........................
........................
2 comments:
wah epsiodenya akan panjang nih,,keep spirit um... :D
lanjutkan Ummu, keren. :)
silahkan mampir ke blog q juga catatankostkuburan.blogspot.com
Post a Comment