7 Agustus 2014

 

 


Baru beberapa jam menginjakkan kaki di Jogja, aku sudah rindu lagi dengan kampung halaman. Rindu dengan Ayunda, Kakak, Adek, Ayah, juga Ibu. Mereka yang sering aku ributin dan mereka yang sering membuatku jengkel. Tapi aku menyayangi mereka.
Aku sampai di Jogja lebih awal sebelum waktu bimbingan tiba. Biasanya aku menyukai kesunyian. Namun tidak dengan hari ini. Itu membuat rinduku semakin meradang. Aku semakin rapuh ketika sendiri. Dan akhirnya aku menyadari bahwa aku memang benar-benar sendiri.
Fine. Hari ini aku belum ada jadwal. Aku meminta ikut pergi bersama temanku. Tujuan yang akan ditempuh mengantarkan barang Jalan Parangtritis, mengunjungi toko silver di Kotagede, mengunjungi rumah nenek temanku di Pathuk Gunung Kidul, dan mengambil barang di rumahnya di Klaten. Rute itu kami mulai dari pukul 12.00 siang. Tepat sekali matahari sedang bersinar terik di atas ubun-ubun. Perjalanan ke Gunung Kidul inilah yang membuat perasaan bosanku hilang. Dari klaten, kita masih harus berjalan ke arah selatan sampai belasan kilometer. Berapa tepatnya aku kurang yakin. Namun kita membutuhkan waktu hingga 45 menit untuk sampai ke sana dari Klatennya. Semakin jauh kita semakin masuk ke dalam sebuah pedesaan. Kanan kiri mulai terlihat pohon-pohon jati dan hamparan tanah kapur. Jalan semakin menanjak dan sesekali berbatu. Jarak rumah satu dengan yang lain bisa mencapai 100 meter bahkan hingga 500 meter. Untuk menuju ke rumah nenek temanku, motor tidak bisa sampai tepat di depan rumahnya. Motor terparkir di tebing di tengah hutan. Terdapat dua rumah di sekelilingnya itu pun dengan jarak yang lumayan berjauhan. Kita harus berjalan turun 200 meter. Kondisi jalan yang menurun, berbatu, berbelok, kanan kiri hutan membuatku ingat ketika mendaki gunung. Jalan ini yang tiap harinya harus di lewati nenek berusia kurang lebih 70 tahunan. Saat musim kemarau, penduduk sini tak bisa menampung air hujan sehingga mengharuskannya untuk menimba di sumur yang cukup dalam dengan jarak yang jauh sekitar 1 km. Bahkan selama puasa, nenek tua itu harus naik turun jalan setapak malam-malam untuk pergi sholat tarawih ke mushola.
Nenek tua tinggal seorang diri ditengah hutan seperti ini tanpa suami tanpa anak maupun cucu. Sungguh menyentuh hati ia mampu bertahan hidup ditengah kondisi seperti ini. Kami mengistirahatkan kaki-kaki kami di beranda rumah. Sunyi dan sejuk sekali. Pohon-pohon bambu serta daun-daun jati menciptakan irama yang senada dengan alam ketika angin bertiup. Syahdu sekali. Suasana ini memang membuat hati nyaman terutama bagi nenek tua yang sudah tidak peduli dengan gemerlap dunia. Jauh dari keramaian serta jauh dari kemewahan. Saat tua nanti, memang sering kali mereka mendambakan ketengan untuk bisa fokus beribadah kepada Tuhannya. Celoteh anak-anak ayam yang sedang mengiring induknya terdengar meriuh. Aku merindukan suasa seperti ini. Suasana dimana hanya aku dan alam yang saling berinteraksi.
Aku berkeliling melihat keadaan asing ini. Kamar mandi yang hanya berdinding tebing di tempat terbuka ini sungguh lucu. Bagaimana tidak? Ah tapi siapa yang mau mengintip orang di tengah hutan seperti ini. Tapi bisa jadi. Bolehlah kapan-kapan menginap di sini ya mbak? Pintaku. Satu jam singgah di rumah mungil itu, kamipun pamit untuk pulang karena sebentar lagi senja tiba.
Malam, selamatkan aku! Hanya itu dan terus itu. Tolong angkat aku dari titik jatuhku sekarang. Beri aku semangat untuk kembali menapaki hari seperti dulu. Berilah aku petunjuk-Mu ya Allah…

No comments: