Ekspedisi Merapi Spesial HUT RI ke 69



            
            #17Agustus menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia di mana pada tanggal itu menjadi hari kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia dari serbuan penjajahan yang sudah lama merampas hak kita. Sejak proklamasi kemerdekaan di cetuskan oleh Ir. Soekarno dan semenjak tanggal itu pula Negara Indonesia resmi dinyatakan MERDEKA. Ya Indonesia telah merdeka. Para pejuang telah mengorbankan cucuran keringat dan darah untuk memerdekaan tanah pertiwi ini. Jasa mereka akan selalu dikenang dan tak terlupakan sampai anak cucu cicit kita kelak. Merdeka! Aku rasa kalimat pembukaan cukup deh. Lanjut.

             Catatan perjalanan ceritaku kali ini sampai juga di lereng merapi. Teman-teman membawaku hingga menapaki gunung berapi yang masih aktif ini. Tanggal 16 malam dengan tim berjumlah 6 orang terdiri dari 3 wanita dan 3 laki-laki, kami berangkat menuju basecamp merapi yang berada di daerah Selo. Ada mas Ipat, mas Melky, Ridha (ini cowok lo bukan cewek), mbak Leha, Anjar, dan aku. Waktu yang dibutuhkan untuk sampai ke sana nggak sampe 2 jam. Menyusuri jalan berlubang, terjal, serta berkelok tanpa penerangan membuat jantungku serasa ingin melompat. Terlebih ditambah hawa dingin yang menusuk sampai sum-sum tulangku.

            Pukul delapan sampailah kami dengan perut kelaparan. Ditengah kondisi dingin seperti ini kepulan asap dari warung bakso sangat menarik perhatian kami. Bagaimana tidak? Kita membutuhkan kehangatan sebelum tubuh kita menelusup ke tengah hutan. Oke fix. Warung kecil itu menjadi tempat pelampiasan kami. Tak heran bila diantara kami sampai ada yang memesan dua mangkuk bakso. Doyan atau laper cin? Ayo ngacung yang ngerasa.

            Perut kenyang, kita pun senang. Wajah kita kembali berseri-seri setelah bakso-bakso itu tersimpan rapi dalam perut kami untuk bekal selama perjalanan. Dengan langkah pasti kita segera menuju basecamp. Peserta ternyata sudah mencapai lebih dari seribu orang pendaki. Rasanya seperti akan menghadiri pesta pernikahan ataupun malah mengunjungi pasar malam dengan orang sebanyak ini. Tak heran bila di jalur pendakian sering ditemui kemacetan. Jadi nggak cuma Jakarta aja lo yang rawan macet. Kedinginan mencair seiring riuhnya jalan setapak yang dilewati para pendaki. Bahkan dingin tak lagi terfikirkan. Jujur nih. Paling paliiiing sebel sama pendaki yang sengaja masangin lonceng di ranselnya. Bukan apa-apa ya, tapi telingaku sangat sensitive ngedengerin suara itu. Buatku suara itu adalah polusi yang harus dibasmi. Suasana hutan ditengah malam ini menjadi tercemar. Sempet pikiran jahat itu terlintas untuk menghakimi si pembawa lonceng. Kalo dalam film si bisa di gambarin semacam awan yang ada di atas kepala kita. Hahaha. Ah cuma khayalan.

            Kita mulai mendaki pukul 9 malam. Seperti biasa perjalanan diawal itu terasa mudah, namun setelah mencapai pertengahan susah itu semakin terasa. Batu-batu kecil, besar serta lereng yang semakin curam menjadi bagian teman perjalanan yang harus ditempuh. Nyaliku semakin menciut. Beban dipunggung yang berat membuatku susah untuk berjalan tegak di lereng seperti ini. Aku harus sedikit membungkuk dan merangkak. Itu hanya sugestiku saja karna takut saat berada di ketinggian. Apalagi ketika angin besar bertiup. Ah aku harus memasang kuda-kuda yang kuat agar aku tak tertiup angin. Kami sempat berhenti sampai 8 menit untuk menyelamatkan diri dari angin kencang. Tiupan itu membuat debu-debu berterbangan menyabet mata. Dengan bersusah payah akhirnya sekitar pukul 2 pagi sampailah kita di tempat bumi perkemahan “Pasar Bubrah”. Yang terlihat di sini cuma hamparan tanah lapang dan berbatu. Tenda-tenda mulai didirikan diatas batu itu. Waktunya istirahat!

           Ketika tubuh diam seperti ini, badan akan terasa lebih dingin 10 kali lipat. Sehelai sleeping bag menyelimuti aku dan temanku. Semakin aku diam, dingin semakin menyentuhku. Batu-batu sebagai alas tidur dan aku terjebak dalam kebekuan alam. Badan menggigil dengan sendirinya. Bagaimana bisa tidur dalam kondisi seperti ini? Sebaiknya aku harus berusaha keras untuk menidurkan diri. Tapi tetap saja sayup-sayup suara manusia terdengar riuh di samping kanan kiri. Baiklah. Setidaknya mataku terpejam dan otot-otot tubuhku mengendur.




                        Akhirnya, pagi menyelamatkan kami. Semburat jingga terlukis indah di belahan bumi timur. Aku tak ingin melewatkan momen ini. Aku berbegas bangun untuk menikmati udara pagi dingin ini. Tak lengkap rasanya bila bayangan ini tak tertangkap oleh kamera. Bak foto model kita semua bebas berekspresi. Pukul 7, beberapa panitia mempersiapkan upacara bendera. Inilah penantian yang ditunggu para pendaki. Dipuncak merapi telah berkibar 2 bendera merah putih berukuran lebar yang direntangkan oleh beberapa pendaki. Perasaan bangga itu benar-benar memenuhi rongga dadaku. Lantunan lagu kebangsaan menggema dengan begitu hikmatnya. Selamat hari kemerdekaan Indonesiaku. Aku bangga dengan merah putihmu.

           Ada yang lucu si dibalik upacara ini. Bagaimana tidak? Bukannya bernyanyi dengan khidmat sembari memberikan penghormatan kepada sang saka merah putih, eh ada pula yang menyanyi sambil jongkok memasak. Laper katanya. Hayo siapa, ngaku aja?!


            Namanya juga manusia. Ada aturan masih tetap aja dilanggar. Dari jauh-jauh hari sudah diperingatkan untuk tidak menaiki puncak kecuali untuk penelitian. Eh masih aja membandel. Aku memilih untuk menjadi upik abu sembari menanti teman-teman turun dari puncak. Aku nggak sendiri, ada mas Ipat juga yang nggak ikutan naik. Kita berdua main masak-masakan buat nyambut mereka sepulang dari puncak nanti. Sayang, nasi buatan kami masih berasa beras dan gosong. Ini bukan salahku. Tapi salah mas Ipat. Dan yang bikin sakit hati, nasi buatan kami ditolak dan akhirnya dibuang. Sakitnya itu di sini *nunjuk jidad*. Aku merasa gagal jadi calon ibu gunung *terjun payung*.




           Jadi begini kejadiannya. Setelah merebus air, menggoreng empek-empek, bola-bola udang, tungku kami masih mengepul. Sayang untuk dibiarkan, terlebih kasian melihat wajah-wajah mereka nanti tersirat makna bahwa mereka lapar dan butuh energi. Kami berbaik hati untuk memasakkan nasi untuk mereka. Sempat terjadi perdebatan kala menuangkan air. Kupikir air terlalu sedikit dan takut nasi akan keras. Tapi pendapat mas ipat beda. Ia melarang untuk menuangkan air banyak-banyak karena takut kelembekan. Kontras. Nurut aja deh gue karna di pendakian kemarin, gue sempet merusak nasi mereka dengan menambahkan air banyak. Alhasil bukan nasi tercipta, tapi lebih mirip seperti bubur beras yang gagal. Udah benyek nggak mateng pula. Oke. Sembari menunggu nasi matang, kami bermain kartu untuk menghilangkan kebosanan. Gimana nggak bosen nunggu lama-lama dalam keadaan nahan buang air kecil sejak semalam. Dan matahari semakin terik membakar kulit tapi mereka tak kunjung terlihat batang hidungnya.

Nasi siap untuk dimasak. Tak lupa beberapa menit sekali kami mengaduk-aduk nasi agar tidak gosong. Sejauh ini setelah belasan menit ditunggu, nasi belum juga terasa enak dimulut. Masih berasa beras dan bagian bawah sudah mulai mengerak. Ah aku semakin curiga dengan hasil masakan kita nanti. Kemudian sedikit air kami tuangkan dan kembali menutupnya. Kami kembali fokus bermain kartu. Sampai suatu ketika terdengar celetuk orang yang tak jauh dari kami sedang beberes akan segera pulang.
“Mbak, bau gosong lo. Itu masak apa?”
Untuk beberapa detik aku dan mas Ipat hanya diam saling berpandangan. Inilah yang dinamakan berkomunikasi lewat mata dan mengandalkan feeling. Setelahnya, kami berdua ribut mematikan api sampai-sampai sarung tangan mas Ipat yang digunakan untuk mengangkat panci terbakar. Tak hanya itu. Bahkan jari tangan mas Ipat sampai melepuh menyenggol panci. Ah lengkap sudah. Ini akan baik-baik saja. Ini akan baik-baik saja. Begitu ucapku membatin.

            Tak lama kemudian, 4 manusia itu mulai terlihat satu persatu mendekati tenda. Setelah sarapan dengan menu seadanya kita pun kembali senang karena perut kenyang. Haha. Sempet si tertidur sebentar sebelum kita siap-siap untuk berkemas pulang.

            Perjalanan pulang tak menyeramkan seperti perjalanan berangkat. Malam menghipnotisku. Aku takut jatuh ditengah kegelapan malam. Ah pokoknya selalu negative bila melihat sekelilingnya. Namun ketika siang hari, hamparan hijauan membentang luas. Kami berdiri di atas awan. Inilah kerajaan kita hei para pendaki. Haha. Kita bagaikan titik di antara jagat raya ini. Bahkan titik yang hampir tak terlihat.

            Kenapa kalau pulang itu lebih sering membubarkan diri? Aku terpisah dengan rombongan. Aku ngerasanya berada di paling belakang. Eh tapi aku ada di urutan nomor 4. Kadang di nomor 2. Inilah suka duka yang bakal jadi kenangan. Pengalaman, kalo pakai sepatu mending yang memang buat aktivitas outdoor atau sandal gunung juga bisa deh biar kaki nggak sakit. Perjalanan naik semua beban berada dipunggung dan kaki. Perjalanan turun semua beban bertumpu di dengkul dan telapak kaki. Sambil jalan terpincang bertopang pada tongkat aku berjalan pelan-pelan. Cuaca siang itu sungguh panas. Debu-debu menguap saat berkali-kali terpijak. Itu membuat licin dan aku harus pasrah berkali-kali jatuh terduduk, dan terpeleset. Yang bikin haru, berkali-kali aku terjatuhpun nggak ada yang nolong. Hiks. Terlebih saat aku masih dalam posisi jatuh terduduk dan sedang membenarkan posisi untuk segera bisa bediri ada seorang laki-laki berkata padaku “Mbak, jangan duduk di jalan”. Kalo aku jahat aja udah kulempar itu orang pake trekking pole! Bukannya dibantuin kek. Tetep dong pasang wajah stay cool gue *pura-pura*. Entah jatuh yang keberapa sudah, kali ini trekking pole sampai terlempar ke belakang. Untung nggak nyentuh orang yang lagi baris dibelakangku. Pasrahlah. Akhirnya kucopot sepatuku dan hanya beralaskan kaos kaki aku berjalan menyusuri jalan hingga sampai di base camp.

            Dipenghujung perjalanan kali ini sebaiknya aku mengakui sebuah dosa. Untuk mas Ipat, maafkan aku yang telah membakar sebagian sarung tanganmu ya. Ini benar-benar diluar scenario. Dan sebait kalimat aku abadikan di sini. Untuk temanku yang sedang berulang tahun tepat di hari kemerdekaan. Merdekalah kau dengan segala mimpi-mimpimu. Happy Birthday teman.


No comments: