#17Agustus menjadi momen bersejarah bagi bangsa Indonesia
di mana pada tanggal itu menjadi hari kebebasan bagi seluruh rakyat Indonesia
dari serbuan penjajahan yang sudah lama merampas hak kita. Sejak proklamasi
kemerdekaan di cetuskan oleh Ir. Soekarno dan semenjak tanggal itu pula Negara
Indonesia resmi dinyatakan MERDEKA. Ya Indonesia telah merdeka. Para pejuang
telah mengorbankan cucuran keringat dan darah untuk memerdekaan tanah pertiwi
ini. Jasa mereka akan selalu dikenang dan tak terlupakan sampai anak cucu cicit
kita kelak. Merdeka! Aku rasa kalimat pembukaan cukup deh. Lanjut.
Catatan perjalanan
ceritaku kali ini sampai juga di lereng merapi. Teman-teman membawaku hingga
menapaki gunung berapi yang masih aktif ini. Tanggal 16 malam dengan tim
berjumlah 6 orang terdiri dari 3 wanita dan 3 laki-laki, kami berangkat menuju
basecamp merapi yang berada di daerah Selo. Ada mas Ipat, mas Melky, Ridha (ini
cowok lo bukan cewek), mbak Leha, Anjar, dan aku. Waktu yang dibutuhkan untuk
sampai ke sana nggak sampe 2 jam. Menyusuri jalan berlubang, terjal, serta
berkelok tanpa penerangan membuat jantungku serasa ingin melompat. Terlebih
ditambah hawa dingin yang menusuk sampai sum-sum tulangku.
Pukul delapan sampailah kami dengan perut kelaparan.
Ditengah kondisi dingin seperti ini kepulan asap dari warung bakso sangat
menarik perhatian kami. Bagaimana tidak? Kita membutuhkan kehangatan sebelum
tubuh kita menelusup ke tengah hutan. Oke fix. Warung kecil itu menjadi tempat pelampiasan
kami. Tak heran bila diantara kami sampai ada yang memesan dua mangkuk bakso. Doyan atau laper cin? Ayo ngacung yang
ngerasa.
Ketika tubuh diam seperti ini, badan akan terasa lebih dingin 10 kali lipat. Sehelai sleeping bag menyelimuti aku dan temanku. Semakin aku diam, dingin semakin menyentuhku. Batu-batu sebagai alas tidur dan aku terjebak dalam kebekuan alam. Badan menggigil dengan sendirinya. Bagaimana bisa tidur dalam kondisi seperti ini? Sebaiknya aku harus berusaha keras untuk menidurkan diri. Tapi tetap saja sayup-sayup suara manusia terdengar riuh di samping kanan kiri. Baiklah. Setidaknya mataku terpejam dan otot-otot tubuhku mengendur.
Akhirnya, pagi menyelamatkan kami. Semburat jingga
terlukis indah di belahan bumi timur. Aku tak ingin melewatkan momen ini. Aku
berbegas bangun untuk menikmati udara pagi dingin ini. Tak lengkap rasanya bila
bayangan ini tak tertangkap oleh kamera. Bak foto model kita semua bebas
berekspresi. Pukul 7, beberapa panitia mempersiapkan upacara bendera. Inilah
penantian yang ditunggu para pendaki. Dipuncak merapi telah berkibar 2 bendera
merah putih berukuran lebar yang direntangkan oleh beberapa pendaki. Perasaan
bangga itu benar-benar memenuhi rongga dadaku. Lantunan lagu kebangsaan
menggema dengan begitu hikmatnya. Selamat
hari kemerdekaan Indonesiaku. Aku bangga dengan merah putihmu.
Ada yang lucu si
dibalik upacara ini. Bagaimana tidak? Bukannya bernyanyi dengan khidmat sembari
memberikan penghormatan kepada sang saka merah putih, eh ada pula yang menyanyi
sambil jongkok memasak. Laper katanya. Hayo siapa, ngaku aja?!
Namanya juga manusia. Ada aturan masih tetap aja
dilanggar. Dari jauh-jauh hari sudah diperingatkan untuk tidak menaiki puncak
kecuali untuk penelitian. Eh masih aja membandel. Aku memilih untuk menjadi
upik abu sembari menanti teman-teman turun dari puncak. Aku nggak sendiri, ada
mas Ipat juga yang nggak ikutan naik. Kita berdua main masak-masakan buat nyambut
mereka sepulang dari puncak nanti. Sayang, nasi buatan kami masih berasa beras
dan gosong. Ini bukan salahku. Tapi salah mas Ipat. Dan yang bikin sakit hati,
nasi buatan kami ditolak dan akhirnya dibuang. Sakitnya itu di sini *nunjuk
jidad*. Aku merasa gagal jadi calon ibu gunung *terjun payung*.
Nasi siap untuk dimasak. Tak lupa beberapa menit sekali kami mengaduk-aduk nasi agar tidak gosong. Sejauh ini setelah belasan menit ditunggu, nasi belum juga terasa enak dimulut. Masih berasa beras dan bagian bawah sudah mulai mengerak. Ah aku semakin curiga dengan hasil masakan kita nanti. Kemudian sedikit air kami tuangkan dan kembali menutupnya. Kami kembali fokus bermain kartu. Sampai suatu ketika terdengar celetuk orang yang tak jauh dari kami sedang beberes akan segera pulang.
“Mbak,
bau gosong lo. Itu masak apa?”
Untuk
beberapa detik aku dan mas Ipat hanya diam saling berpandangan. Inilah yang
dinamakan berkomunikasi lewat mata dan mengandalkan feeling. Setelahnya, kami berdua ribut mematikan api sampai-sampai
sarung tangan mas Ipat yang digunakan untuk mengangkat panci terbakar. Tak
hanya itu. Bahkan jari tangan mas Ipat sampai melepuh menyenggol panci. Ah
lengkap sudah. Ini akan baik-baik saja.
Ini akan baik-baik saja. Begitu ucapku membatin.
Tak lama kemudian, 4 manusia itu mulai terlihat satu persatu mendekati tenda. Setelah sarapan dengan menu seadanya kita pun kembali senang karena perut kenyang. Haha. Sempet si tertidur sebentar sebelum kita siap-siap untuk berkemas pulang.
Perjalanan pulang tak menyeramkan seperti perjalanan berangkat. Malam menghipnotisku. Aku takut jatuh ditengah kegelapan malam. Ah pokoknya selalu negative bila melihat sekelilingnya. Namun ketika siang hari, hamparan hijauan membentang luas. Kami berdiri di atas awan. Inilah kerajaan kita hei para pendaki. Haha. Kita bagaikan titik di antara jagat raya ini. Bahkan titik yang hampir tak terlihat.
Kenapa kalau pulang itu lebih sering membubarkan diri?
Aku terpisah dengan rombongan. Aku ngerasanya berada di paling belakang. Eh
tapi aku ada di urutan nomor 4. Kadang di nomor 2. Inilah suka duka yang bakal
jadi kenangan. Pengalaman, kalo pakai sepatu mending yang memang buat aktivitas
outdoor atau sandal gunung juga bisa deh biar kaki nggak sakit. Perjalanan naik
semua beban berada dipunggung dan kaki. Perjalanan turun semua beban bertumpu
di dengkul dan telapak kaki. Sambil jalan terpincang bertopang pada tongkat aku
berjalan pelan-pelan. Cuaca siang itu sungguh panas. Debu-debu menguap saat
berkali-kali terpijak. Itu membuat licin dan aku harus pasrah berkali-kali
jatuh terduduk, dan terpeleset. Yang bikin haru, berkali-kali aku terjatuhpun
nggak ada yang nolong. Hiks. Terlebih saat aku masih dalam posisi jatuh
terduduk dan sedang membenarkan posisi untuk segera bisa bediri ada seorang
laki-laki berkata padaku “Mbak, jangan duduk di jalan”. Kalo aku jahat aja udah
kulempar itu orang pake trekking pole! Bukannya dibantuin kek. Tetep dong
pasang wajah stay cool gue *pura-pura*. Entah jatuh yang keberapa sudah, kali
ini trekking pole sampai terlempar ke belakang. Untung nggak nyentuh orang yang
lagi baris dibelakangku. Pasrahlah. Akhirnya kucopot sepatuku dan hanya
beralaskan kaos kaki aku berjalan menyusuri jalan hingga sampai di base camp.
Dipenghujung perjalanan kali ini sebaiknya aku mengakui sebuah dosa. Untuk mas Ipat, maafkan aku yang telah membakar sebagian sarung tanganmu ya. Ini benar-benar diluar scenario. Dan sebait kalimat aku abadikan di sini. Untuk temanku yang sedang berulang tahun tepat di hari kemerdekaan. Merdekalah kau dengan segala mimpi-mimpimu. Happy Birthday teman.
No comments:
Post a Comment