Negeri Annora (Cahaya Di Delapan Arah Mata Angin) Part 4

Hutan putus asa?
Hutan itu sering menjadi tempat pelarian bagi orang-orang yang berputus asa. Mereka tidak mau menghadapi kenyataan yang sebenarnya. Sehingga ia melarikan diri dari nasib walaupun sebenarnya masih bisa untuk dirubah. Namun tempat itu tidak secara gratis menerima kita. Hutan putus asa akan meminta imbalannya. Kita akan dijadikan budak di sana untuk bekerja pada malam hari. Lalu pada siang hari mereka diberi kebebasan. Hutan itu memiliki seorang pemimpin bernama Gonji-gonji. Ia berwujud batu yang bertumpuk-tumpuk. Ia mempunyai tangan, kaki dan mata. Walaupun ia tidak memiliki telinga dan hidung namun kekuatan utamanya terletak pada indra penglihatannya yang tajam.
Ia mampu mengancurkan lawan hanya sekali pukul. Tak ada yang berani melawannya kecuali mereka yang ingin mati tak berguna. Dan dalam hutan tersebut terdapat sebuah danau indah bermata air jernih yang kilaunya memancarkan cahaya seperti permata. Air itu akan membawa ketenangan juga kedamaian bagi yang meminumnya. Inilah yang dicari oleh orang-orang yang berputus asa. Aku menjadi semakin tertarik untuk mengunjungi hutan putus asa tersebut. Tapi tidak untuk menjadi budak di sana.
Aurora!! Aku berteriak histeris. Ini adalah pertama kalinya aku melihat aurora yang sering diceritakan dalam buku. Cahaya itu menyala dengan indahnya pada lapisan ionosfer. Aurora terlihat kemerah-merahan di ufuk utara seolah-olah matahari akan terbit dari arah tersebut. Menakjubkan. Beberapa kali aku dibuat takjub dengan pemandangan-pemandangan tak biasa yang tidak akan kutemui di duniaku. Aku seperti sedang bermimpi. Lain dengan hutan putus asa, lain pula dengan aurora.
“Angelina, pusaran apa itu?” Aku mengacungkan telunjuk ke arah sebuah pusaran angin berwarna biru keunguan di pintu masuk sebuah gua.
“Itu adalah lingkaran dimensi waktu. Lewat pusaran itu manusia di sini bisa datang kemasa depan. Namun lingkaran itu hanya akan muncul satu kali dalam 4 musim.”
“Untuk apa mereka datang ke masa depan Angelina.”
“Beragam alasan datang dari para pengguna dimensi waktu tersebut. Salah satunya adalah untuk melihat nasib mereka di masa mendatang. Namun untuk masuk dalam lingkaran tersebut memiliki banyak resiko. Kau bisa saja tersesat dan tak akan bisa kembali lagi.”
“Mengerikan.” Aku bergidik.
Tak terasa kami telah melewatkan hampir setengah malam mengudara bersama kereta Santa. Angelina telah menunjukkan banyak hal yang tidak mungkin menjadi mungkin dan hanya imajinasi menjadi nyata. Ini semua nyata dan ada. Andai aku bisa mengajak teman-temanku ke sini, mungkin mereka akan diam dan berhenti untuk mengejekku. Namun Angelina memperingatkanku untuk menyembunyikan Negeri Annora ini. Negeri ini hanya bisa dilalui lewat lukisan di gudang penyimpanan bawah rumahku.
“Sebentar lagi fajar akan tiba. Sebaiknya kita segera mendarat Aurel. Lain waktu akan aku ajak kau melihat hal yang belum kau lihat hari ini. Kau harus tidur sebentar sebelum kau memulai latihan.”
“Baiklah Angelina. Terima kasih sudah mengajakku berkeliling.”
Angelina tersenyum.

Sampai di Istana, kurebahkan badanku di atas kasur empuk yang sudah disediakan oleh dayang-dayang Angelina. Pandanganku mengelilingi seluruh ruangan kamar berukuran kira-kira 10x10 meter itu. Ruangan ini terlalu luas untuk aku tinggali sendiri. Andai….
Aku terpaku oleh salah satu foto di sudut ruangan di samping cermin besar. Ayah, Ibu. Foto mereka terpajang di kamar ini. Terkaan-terkaan itu seketika memenuhi rongga otakku. Inikah kamar Ayah dan Ibu sewaktu mereka tinggal di sini? Kerinduanku pada mereka membawaku bertemu dengannya walau hanya dalam mimpi. Mereka memelukku dengan penuh cinta. Tatapan mata mereka tak bisa dibohongi. Tak ada ucapan yang mereka katakan padaku. Ibu hanya menepuk-nepuk pundakku sedangkan ayah mengelus kepalaku. Kemudian mereka pergi. Aku menjerit memanggil mereka. Namun mereka hanya berpaling dan terus berlalu.
Teriakanku membangunkan tidurku sendiri. Aku terbangun dengan sangat tidak menyenangkan. Bangun pagi dengan keadaan seperti ini membuat pagiku kehilangan arti. Ah. Aku menarik nafas dalam-dalam dan membuangnya. Walaupun sinar mentari sudah menerobos melalui celah-celah tirai. Aku masih saja tergeletak di ranjang memandangi foto Ayah dan Ibu. Sampai pintu kamar berderit terbuka, aku mengolok.
“Bangunlah Aurel. Matahari semakin beranjak. Untuk latihan hari pertamamu, kau akan belajar memanah. Itu salah satu skill yang harus kau miliki. Bermain pedang dan selanjutnya bermeditasi. Percayalah kau pasti akan bisa menguasainya.”
“Aku akan mencobanya.”
Aku terpaksa bangun untuk memulai kegiatan hari ini. Sebenarnya aku masih ingin bermalas-malasan di bawah selimut tebal, tapi apa daya tugas menanti. Aku merasa dibutuhkan dan dihargai. Tidak seperti di duniaku. Mereka mengacuhkanku dan sering mengolok-olokku. Duniaku adalah tempat kelahiranku. Namun sepertinya tak ada orang yang menginginkanku kecuali Ayah dan ibuku.
Suatu saat kau akan berlari menghampiri tempat ternyaman yang membuatmu merasa dihargai. Tempat itu tidak akan menjadi tempat pelarian dalam hidupmu.
Aku berjalan menuju pekarangan belakang kastil. Terlihat lelaki tua sudah berdiri menungguku. Pria paruh baya itu berkulit sawo matang dengan jenggot hitam terurai sepanjang 10 cm. Sorot matanya tajam sampai menusuk ulu hati. Walaupun terlihat garang namun pak tua itu terlihat tenang. Aku mendekatinya dengan ragu-ragu tanpa membalas tatapannya terhadapku.
“Apakah seperti ini sikap seorang kesatria?” Kata beliau tegas.
Aku terperangah mendengar ucapnya namun tetap saja aku masih tertunduk tak menoleh pak tua yang ada di depanku. Pak tua memandangku tajam. Aku tak bergeming sampai beliau memberikan sebuah isyarat dengan mengeluarkan batuk kecil. Aku menyerah dengan keadaan ini. Kali ini aku memperbaiki posisiku. Kubalas pandangan itu. Aku tidak pernah takut kepada siapapun di duniaku. Bahkan seorang guru pernah aku lempari dengan kertas-kertas ulanganku kemudian aku berlalu. Betapa kurang ajar dan sombongnya aku. Entahlah dengan dunia ini. Kepedulian mereka menyentuh hati dan membuatku lunak.
“Guru, ajari aku ilmu yang kelak berguna untukku dan untuk negeri ini guru.” Aku memberikan hormat padanya layaknya orang-orang yang saling menunduk memberikan salam di negeri sakura.
“Jangan panggil aku guru. Panggil saja, Denes.”
“Baiklah Denes.” Aku memanggut.
“Apakah kau sudah pernah memainkan benda ini?”
“Belum. Namun aku sering bermain ketapel sewaktu kecil dulu.”

“Sebelum menjadi pemanah professional, kau harus menguasai terlebih dahulu teknik dasar memanah. Pertama adalah posisi berdiri di mana kau harus berdiri untuk menyeimbangkan tubuh tanpa bengkok. Kedua,  menempatkan ekor panah dan menempatkan gandar pada sandaran panah. Ketiga…….” Pak tua memberikan pengetahuan dasar dengan mempraktikan pelan hingga aku benar-benar paham. Awal mula memang terlihat susah kerena aku belum terbiasa memegang benda seperti ini. Anak panah yang aku lepas dari busur melesat dari bidikan. Berkali-kali aku mencoba berkali-kali pula anak panah itu menjauhi titik sasaran. Kubanting busur panah ini dengan keras. Aku berlalu meninggalkannya tak berdosa tergeletak di atas tanah. Denes memandangku diam.

No comments: