Sederet aktivitas yang bakal gue lakukin dalam catatan agenda gue akhirnya tercoret satu persatu. Aktivitas yang bakal gue coret kali ini yaitu Pendakian. Akhirnya gue mendaki juga.
Tulisan kali ini adalah
mengenai cerita perjalanan pendakian gue yang pertama. Yuks..
Mungkin gue bukan
pecinta alam sejati. Atau mungkin bisa dikatakan bahwa gue hanya penikmat alam.
Itu lebih tepat. Tangal 6 Juli 2013 kemarin adalah tanggal bersejarah buat gue.
Dimana pada tanggal itu pertama kalinya gue melakukan pendakian. Lokasi yang
gue daki adalah Gunung Prau yang terletak pada desa yang dieng yang berbatasan
dengan kota Banjarnegara dan Wonosobo. Ketinggian gunung prau mencapai 2565
mdpl hampir setara dengan merapi dan membutuhkan waktu sekitar 3-4 jam
perjalanan sampai kepuncak prau.
Cerita dimulai dari
perjalanan gue menaiki bus menuju Wonosobo. Gue bakal ketemu temen-temen
disana. Mereka adalah temen satu kampus gue dan ada beberapa dari kampus lain
dan kota lain. Tim kita berjumlah 13 anak. Sebelumnya gue emang udah janjian
bakal ketemu di alun-alun wonosobo. Sesampainya gue disana mereka belum ada.
Gue kek orang yang mau kabur dari rumah dan lagi nunggu seseorang yang bakal
ikut kabur juga bareng gue. Atau gue lebih terlihat seperti seorang backpacker
yang hilang dari rombongan. Ckckckck. Tapi gue sangat menikmati kesendirian gue
disana. Gue bisa nikmatin angin wonosobo yang sangat sejuk dengan tenang. Dan
akhirnya setelah gue nunggu lebih dari satu jam temen gue dateng juga. Kita
menuju basecamp pertama yang berlokasi di rumah leader tim gue di Kertek.
Setelah semua persiapan siap, kami semua segera menuju lokasi utama karena
haripun semakin sore. Udara dingin mulai terasa menusuk ketika kita menginjak
dataran tinggi dieng. Kita sampai di desa Patak Banteng pukul 5 sore yang
merupakan lokasi basecamp gunung prau. Ternyata tak hanya tim gue yang bakal
naik malam itu. Tapi banyak. Kita nggak langsung naik karena kita masih nunggu
temen lagi dari Semarang. Akhirnya pukul 22.45 tim kita mulai mendaki. Tim gue
adalah pendaki terakhir malam itu. Langkah demi langkah kita mulai meninggalkan
basecamp. Dari sinilah petualangan gue dimulai. Petualangan menuju puncak bukit
teletubies. Begitulah orang sering menyebutnya. Hamparan rumput yang luas
dengan bukit-bukit kecil mirip seperti bukit dalam acara tv tersebut.
Malam memang semakin
pekat. Langit yang cerah dengan ribuan lautan bintang terbentang temani langkah
kami. Tentu saja, dingin masih enggan tuk pergi. Bahkan semakin dingin ketika
sesekali angin malam berhembus. Dengan langkah penuh semangat kami semua
berjalan menyusuri perumahan warga yang mulai sepi. Tak terlihat satu pun warga
berada diluar. Mereka pasti memilih untuk bersembunyi dibalik selimut tebal
mereka dan bermimpi indah. Rintangan pertama sudah didepan mata. Sebanyak ± 120 anak tangga siap menanti untuk
dipijak (anak tangganya beneran gue itung lho). Untuk seorang pemula, anak-anak
tangga tersebut udah ngebuat gue kelelahan. Tapi gue harus lanjut. Setelah melewati perkampungan, kita mulai
melewati ladang-ladang warga dengan jalan setapak. Jalan yang kita tempuh
selain berbatu, tanah licin dan akar-akar tunggak yang menyumbul keluar dari
tanah. Berkali-kali kita harus berhenti untuk beristirahat juga mengatur nafas.
Bukan main dah dinginnya. Sumpah dingin banget. Udara sedingin ini membuat
nafas gue sesek. Mungkin udara di lokasi ini mencapai dibawah 8 derajat.
Semakin tinggi kita mendaki tekanan udara semakin kuat. Gue hampir seperti
kehilangan nafas. Gue akuin, gue susah nafas malam itu. Dada gue sakit.
Produksi oksigen mulai menipis karna pohon-pohon akan mengeluarkan karbondioksida ketika malam. Jantung gue kenceng banget berdetak. Kaki, tangan dan muka mulai
terasa membeku. Kondisi jalan di area lahan warga belum lah terlalu sulit.
Berkelak-kelok jelas. Tanjakan masih ringan namun tetap saja memakan energi.
Keringat dingin yang keluar membuat gue dehidrasi, tenggorokan kering.
Kita memang belum
sampai puncak, namun pemandangan dibawah gue sudah terlihat mengagumkan. Ribuan
kerlap-kerlip lampu malam, jutaan bintang dan tiupan angin menambah cerita
petualangan romantisme malam itu. Keren. Keren banget. Setelah melewati ladang,
barulah jalan dengan rintangan dengan ritme tersulit. Selain semakin menanjak,
jalan juga semakin terjal, berbatu, licin dan terdapat jurang disampingnya. Tak
hanya itu, jalan setapak itu terlihat sepeti celah yang biasa mengalirkan air
sewaktu hujan. Lewat celah-celah itulah gue merayap, jatuh bangun, terpeleset.
Senter lampu hanya gue arahin ke jalan setapak didepan mata gue. Kita harus
tetep fokus dan berhati-hati. Kaki yang semakin lemah untuk melangkah, nafas
yang mulai tersengal-sengal, beban di punggung pun tak luput dari permasalahan.
Berkali-kali temen gue mengulurkan tanggan untuk ngebantu gue naik. Makin susah
dah jalannya. Bahkan gue harus jalan sampil merayap dan berpegangan pada pohon,
rumput, akar atau apapun disamping celah-celah itu.
Dengan semangat
perjuangan yang tak surut walaupun halangan merintang, akhirnya tim gue sampai
juga di puncak gunung prau pukul 2 pagi. Terlihat berjejer-jejer tenda sudah
terpasang rapi dengan api unggun kecil sudah menyala untuk menghangatkan mereka
dari hawa dingin. Bersegera kami mencari posisi untuk menacapkan tenda. Dengan
waktu singkat 3 tenda sudah terpasang. Gue yang emang udah nggak punya tenaga
lagi berniat untuk segera memejamkan mata. Sedangkan yang lain ada yang membuat
api unggun dan memasak. Maklum, sebelum berangkat dari tim gue ada yang belum
makan malam. Pikiran gue saat itu cuma tidur. Gue masuk ke dalam sleeping bag dan segera menghangatkan diri. Namun, ternyata sleeping bag, sarung, jaket
tebal, kaos kaki double 2, masker tak mampu menahan terpaan dan suhu angin.
Gilaaa, gue hampir putus asa dibuatnya. Bukannya agak angetan, malah tambah
dingin daripada sewaktu pendakian tadi. Udah gue paksa-paksain buat tak
sadarkan diri masih tetep aja denger suara bocah-bocah bersahut-sahutan dari
tenda sastu ke tenda lain. Ada yang bilang “tambal panci, kapur barus, racun
tikus” ada juga “Bakpao, tahu asin” dan apalah itu jadi macem kek pasar aja.
Sebenernya gue pengen ketawa. Tapi apa daya, dan lagi sepertinya gue udah nggak
sanggup untuk bersuara. Kedengaran juga tim gue manggil-manggil nyuruh makan
bareng. Ahh bodo amat.
Pagipun tiba. Rona
merah di ufuk timur mulai terpancar. Kabut-kabut tipis mulai menyingkir seiring
keluarnya mentari. Ini lah pagi yang gue tunggu. Pagi dalam lukisan mimpiku.
Dan hari itu mimpi ku telah menjadi nyata. Hamparan rumput ilalang yang luas
dengan bunga-bunga kecil cantik yang hampir memenuhi perbukitan. Kerumunan manusia
mulai menyeruak dan meninggalkan tenda-tenda kecil mereka untuk menyaksikan ke
agungan Tuhan. Inilah yang gue dan mereka tunggu sebagai bentuk hadiah
perjalanan pendakian. Lautan rumah terhampar kecil jauh dibawah kita.
Gunung-gunung lainnya pun tak mau kehilangan pesonanya. Mereka memamerkan
setiap kelebihan dan keelokan masing-masing. Ahh itu ngebuat gue iri. Maunya si
punya baling-baling bambunya doraemon. Biar gue bisa mampir dari puncak satu ke
puncak lain. Menakjubkan. Tak mau kehilangan momen langka ini, gue ataupun
mereka mengabadikan yang tak berlangsung lama ini. Jepret sana jepret sini.
Eksis sana eksis sini. Sampe lupa tadi gue foto di kamera siapa aja -____-“
Gue berhasil melukis
sebuah pagi. Pagi untuk seseorang disana. Sebenernya gue pengen nulisin nama
kamu di tugu. Tapi setelah gue pikir-pikir, kaya lo udah mati aja dan udah
melebur bareng alam. Enggak enggak. Gue enggak setega itu. Gue urungin niat.
Setelah pemandangan ini
berakhir, banyak dari tenda-tenda kecil itu di gulung oleh pemiliknya. Dan
meninggalkan sisa perapian yang masih dengan asap kecil. Sedangkan perapian
kelompok gue masih mengepul. Iya kita kelaperan. Logistik pun masih banyak
tersisa. Kami memasak apa saja yang bisa dimasak. Yang namanya di gunung
makanan kek apa juga nanti kemakan. Sarden yang mirip bubur. Telor orak-arik yang terasa asin tapi lumayan juga
buat pengganjal perut. Roti yang digarang diatas api. Dan panci yang gosong
namun nasi belum matang. Ckckckc..
Sekali lagi tim gue lah
yang masih tetap bertahan di puncak. Tim gue pendaki terakhir yang turun.
Sebelum meninggalkan puncak, kami membuat sebuah momen foto kebersamaan. Ketika
itu, kami dikejutkan oleh suara-suara motor tril di ujung barat yang sedang
melakukan pendakian. Rombongan motor itu berhenti tepat di area kami berdiri.
Selanjutnya mereka mendaki kebukit lagi yang lebih tinggi dan masih menggunakan
motor mereka. Gilaa, keren banget. Semoga sukses dah buat rombongan motor itu.
Akhirnya tim gue turun.
Jalan menuruni gunung memang tak sesulit mendaki. Tapi tetap saja kita
mengeluarkan energi banyak. Semua beban tertumpu pada lutut dan pundak. Kaki gue
mulai gemeteran banget. Sepatu gue yang licin mengharuskan ku berjalan merayap.
Makin lama makin susah aja ini sepatu. Akhirnya gue lepasin aja dan berniat
untuk telanjang kaki. Tapi leader tim gue, mas ari mengiklaskan sendalnya buat
gue pake. Aduuuuh terharu. Terima kasih mas ari T.T
Perjalanan menuruni
bukit justru terlihat sangat indah. Karna kita bisa melihat pemandangan yang
luar biasa dari atas. Hanya butuh waktu tak kurang dari 2 jam. Lebih singkat
daripada saat mendaki memang. Lelah dan letih mulai terasa ketika sudah berada
di jalan yang datar. Terima kasih dieng. Terima kasih gunung prau udah mau memperbolehkan
gue untuk memijak mu dan melukis pagi untuk yang pertama kali. Dan terima kasih
teman-teman yang sudah bersedia ngebantu gue saat pendakian. Terima kasih
sekali lagi kawan (^^,)
4 comments:
haha kereeennn
hahaha tulisannya mantap cuma ada revisi dikit,,it bukan "sleepng bad" tapi "sleeping bag"
vitrie : ayuk kapan-kapan muncak vit. seru..
omsasak : haha oke oke terima kasih
Post a Comment